KakaTriaa Blog
Jauh di Mata

7/11/2015 @ 11:04 AM | 0 Comment [s]

Bau hujan saja masih tercium. Walaupun hujan sudah berhenti beberapa jam yang lalu namun udara dingin tampaknya akan masih lama menyelimuti kota Palembang itu.
Malam semakin sunyi, hembusan angin semakin menusuk tulang karena dinginnya. Ada beberapa lampu jalan mengerip-ngerip seperti mau putus. Mungkin agak konslet karena air merembes masuk ke dalamnya.

Dinginnya malam itu tak menyurutkan hasrat Bagas untuk keluar rumah. Di sebuah jalan yang sepi, dia memberhentikan motor matic nya lalu mulai berjalan pelan menelusuri jembatan Ampera nan indah dan berwarna di malam hari.

Sweater merah, celana pendek dan sandal jepit dirasa cukup untuk menutupi tubuhnya malam itu. Dia masih ingat beberapa menit yang lalu saat dia memutuskan untuk memakai sweater merah itu – dia teringat dengan Cindai. Seseorang yang memberinya sweater itu saat di Singapore dulu. Kini mereka terpisah ribuan mil. Walaupun masih di satu negara namun jauhnya jarak Sumatera dan Sulawesi nyatanya bisa memisahkan raga mereka.

Bagas masih berjalan menyisir jembatan ampera. Engga ada yang tau persis apa yang akan dilakukannya tapi yang jelas dia berjalan pelan dalam kesunyian dengan kenangan-kenangan indah bersama Cindai merasuki pikirannya.

Lalu dia berhenti di salah satu sisi jembatan. Pandangannya disisir ke tiap sudut sungai Musi yang terbentang luas tepat di bawah jembatan itu.

Bagas mengeluarkan ponselnya dari saku celana lalu tersenyum. Dia selalu tersenyum saat melihat home background di ponselnya itu. Menurutnya, hanya memasang poto dirinya bersama Cindai lah bisa mengurangi rasa rindu padanya yang datang tiap saat.

‘ndol kamu lagi apa ya di sana…’ batin Bagas. ‘Bagas gak sabar menunggu sampai lulus sekolah nanti. Bagas gak sabar bisa kuliah bareng kamu nanti di Jakarta. Bagas akan selalu tunggu sampai waktu itu tiba. Waktu dimana kita akan dipertemukan kembali. Bagas selalu mempatri janji yang kita buat satu bulan lalu di Singapore’ tambahnya lalu tersenyum.
Sekitar satu tahunan yang lalu, Bagas Cindai dipertemukan di River Valley High School, Singapore. Dimana saat mereka sama-sama sedang mengikuti student-exchange yang didanai oleh pemerintah Indonesia dan Singapore. Bagas Cindai terpilih sebagai siswa berprestasi di bidangnya masing-masing yang berhak belajar selama dua semester di salah satu sekolah prestisius di Singapore itu.
---

Juli 2014,

“Ooops sorry…” ujar Bagas gugup setelah menabrak seseorang.
“It’s okay”
Bagas membantu membereskan buku-buku yang berserakan di lantai. “Oh are you Indonesian?” tanyanya kaget ketika melihat seseorang yang ditabraknya berperawakan seperti orang Indonesia.
“Yes! And you are?”
Bagas tersenyum lega lalu mengangguk. “Yaaa yaaa yaaa I’m Indonesian too” jawab Bagas sumringah.
“Aaah I see… I thought you are Chinese or something because I recognize you have small eyes, white skin hahahaha”
Bagas pun tertawa lepas mendengar seseorang yang berasumsi seperti itu. “I’ve received lots of that such an assumptive statement toward my appearance in my entire life”  “Anyway I’m Bagas, from Palembang”
“I’m Cindai from Manado”
Dan mereka berjabat tangan dengan wajah yang saling berseri-seri. “By the way, kamu student exchange juga di sini?” tanya Bagas memulai percakapan sembari berjalan di koridor.
Cindai mengangguk.
“Wah sama dong”
“Oya kamu di bidang apa?” tanya balik Cindai.
“Aku keterima masuk kelas science”
“Woow that’s good! I heard only one person accepted yang masuk ke kelas sciene”
Bagas mengangguk bangga. “Yeah it is me!” jawab Bagas tersenyum lebar. “Kalo kamu?”
“Aku masuk kelas music & art” jawab Cindai merendah.
“It’s amazing! Kamu bisa menyanyi kah atau melukis?”
“I’m a singer. Winning a 1st champion on Singing Competition in Sulawesi which held by education government there and yeah it was an opportunity for me which brought me to be here”
Bagas menghentikan langkahnya sejenak lalu memandang gadis di sampingnya itu dengan wajah kagum. “Wow that’s cool” ujarnya.
“Thank you” ujar Cindai dengan wajah memerah.
---

Bagas tersenyum lebar saat mengenang pertemuaan nya bersama Cindai. Sejujurnya, Bagas begitu kagum dengan sosok Cindai pada saat itu bahkan sampai saat ini. Sosok Cindai bukan hanya sudah mencuri hati nya tapi juga memberinya pelajaran bahwa hidup itu penuh dengan perjuangan.

Bagas bisa dibilang bergelimang harta. Dia bisa keluar masuk tempat les ternama sesuka hatinya. Dia bisa mengikuti beberapa les dalam satu semester tanpa mempertimbangkan biaya. Semuanya disokong oleh keluarga nya yang terlanjur kaya tapi tidak dengan Cindai. Dia harus berusaha belajar sendiri untuk bisa mendapatkan beasiswa tanpa dibantu dengan les ini itu. Semuanya dilakukan demi cita-cita nya dan keluarganya tapi dia tak pernah menyerah. Itulah yang membuat Bagas kagum pada sosok Cindai.

Akhirnya Bagas menelpon Cindai karena rindu nya sudah menderu-deru dari tadi. Suara telpon tersambung… detak jantung pun ikut mendegub kencang. Bagas tertawa menggeleng sambil memegang dadanya. ‘masih aja deg-deg’an’
“Hallo?” sapa seseorang di sana dengan lembut.
Bagas belum mau membalas. Ia masih mengatur napas nya agar tak terdengar gugup tapi wajahnya tatap sumringah.
“Bagaaaas???” sapa lagi Cindai dengan lembut.
“Cindai…” Bagas memulai.
“Kamu lagi ngapain sih?”
“Lagi di Ampera”
“Heh stupid! I was asking, what you’re doing NOT where you’re”
Bagas tertawa lepas. “Iya deh iya deh… I’m thinking of you. Puas?”
Cindai pun tertawa tak kalah lepasnya. “Reaallllyyyy???” tanya Cindai tak percaya.
“Iya lah! Ngapain aku boong”
Cindai hanya tersenyum di ujung sana sembari memandangi poto dirinya bersama Bagas yang daritadi dilihatnya itu.
“Ndai…”
“Yes?”
“Bagas kangen banget sama kamu”
Lagi-lagi Cindai hanya tersenyum malu.
“Ndai… kok kamu diem aja sih?”
“Yaa abisnya aku harus ngapain?”
“Yaa ngapain kek! Emang kamu gak kangen sama aku ya? Oh yaya yaya I see… kamu pasti duaikan aku kan? Kemaren aku liat kamu ngpost di Instagram photo sama cowo. Siapa tuh?!” cerocos Bagas rada sewot.
“Ih kamu apaan sih… Satu aja engga akan pernah abis, ngapain harus dua?” ledek Cindai.
“Hmmmm gitu???” Bagas manggut-manggut.
“Iya laah… dia itu senior aku”
“Yakin senior? Kok photonya berduaan?”
“Ih kayaknya kamu ngantuk deh. Liat lagi coba photonya, mana ada aku photo berduaan. Itu rame rame kali!”
“Emang ya?”
“Wooo dasar!!! Aku juga kangen sama kamu”
“Apa?”
“Aku kangen sama kamu Bagas…”
Bagas terseyum lebar, menyipitkan kedua matanya.
“Kemarin aku mimpiin kamu tau”
“Oya? Coba aku mau denger kamu mimpiin aku apa?” tanya Bagas penasaran.

Cindai beranjak dari duduknya. Ia berjalan menuju jendela kamarnya lalu menatap langit pada malam itu yang cerah sekali, dihiasi ratusan bintang berkelip-kelip seakan mengajaknya untuk menari.

“Aku mimpi kita bertemu di suatu tempat. Kamu pakai swater merah yang aku kasih. Kamu berjalan mendekati aku sambil tersenyum. Tapi kamu kurusan di sana, kayaknya kamu kurang gizi deh haha”
“Siaaaal!!! Kamu mau cerita atau ngeledek aku sih?” Bagas geram.
Cindai tertawa lepas. “Okay okay okay… jadi kamu deketin aku terus pegang kedua tangan aku lalu…”
“Laluuu???” tanya Bagas penasaran.
“Laluuu…”
“Laluu???”
“Laluuu…”
“Lalu apaaa???!!!” tanya Bagas geram.
“Lalu aku kebangun…” ujar Cindai polos.
“Hufftttt…”
Cindai hanya bisa tertawa puas. Rasanya ada rasa kepuasan di sana. Namun Bagas bête setengah mati mendengar cerita yang nanggung itu.
“Kamu tuh yaa… jauh aja bikin aku gregetan! Gimana kalo deket! Aku unyel-unyel kamu yaaa”
Cindai masih saja tertawa puas.
“Kamu inget gak waktu kamu tidur di bahu aku pas di MRT?” tanya Bagas tiba-tiba.
“Iya inget… yang kamu kepegelan abis itu gara-gara gak bisa gerak”
“Bukannya engga bisa gerak. Aku engga mau aja bangunin kamu”
“Ooooh co cwiiit…” ledek Cindai.
“Kamu tuh ya! Aku kangen masa-masa itu”

Cindai terdiam sejenak. Dia merenungkan apa yang sudah Bagas lakukan terhadapnya. Perhatian Bagas terhadapnya, perlakuan Bagas terhadapnya. Semuanya itu semakin tak bisa melepaskan dirinya dari Bagas. Bagas begitu berarti baginya. Bagas adalah orang pertama yang membuat hidupnya terasa lebih ringan. Bagas juga yang mengajarkan bahwa hidup itu cuma sekali. So doesn’t matter how serious you run into your goal but you don’t have to push away the stupidities’ in order to make your life’s balance. 
“Gas…” ujar Cindai.
“Yes?”
“Makasih ya… saat itu kamu udah rela-rela memberikan bahunya untuk aku tidur. Aku juga bisa ngerasain kamu genggam erat tangan aku. Sebenernya aku engga literary tidur saat itu tapi aku cuma ingin merebahkan kepala ku aja di bahu kamu. Karena aku lelah sekali…”
Bagas mengangguk mengerti. “Aku tau kok. Dan kamu bisa kapanpun bersandar di bahu aku. My shoulder is only for you to lean on”
“Makasih ya…”
“Makasih mulu daritadi”
Cindai tersenyum. “Aku serius. Makasih buat semuanya. Kamu udah ngewarnai hidup aku”
“Oooh co cwiiiit… aku kerayon ya” ujar Bagas sambil tertawa. Dan mereka tertawa bersama.
Kemudian mereka hening sejenak. Sampai pada akhirnya mereka ngomong “I love you” pada saat yang sama.
“I can’t wait for our college’ life” ujar Bagas.
“Me too! Bagas?”
“Yes?”
“Promise me to always wait me”
“Always!”
“I miss you”
“I’ve always miss you” ujar Bagas lalu menutup telponya.

Bagas menarik napas panjang. Perasaan rindunya sedikit terobati. Perasaanya jauh lebih lega. Dan yang terpenting, dia tau bahwa Cindai pun merasakan hal yang sama seperti dirinya dan Itu adalah hal yang ierpenting.

‘I never expect meeting you a year ago but God did. I never expect loving you but God did. So I’ve always waited you in pleasant until meet again because I know God will do for us’ ujar Bagas pelan sembari memandang sungai musi yang semakin tenang.

-The end-

Label:


Back to December

2/23/2015 @ 3:46 PM | 0 Comment [s]


Galang sudah bersiap ke sekolah untuk terakhir kalinya. ‘There isn’t day as excited as today’ pikirnya. Dia tersenyum di depan cermin, sambil merapihkan tentunya rambutnya. Oh tidak, juga ada satu hal yang membuatnya semangat buat berangkat ke sekolah tiap hari. There’s only one girl makes him think school is exciting, math is enjoyable, and task is always joyful. Only with this girl, he has been through his school days.
--- 

Hari itu di sekolah hanya di penuhi murid kelas XII. Lapangan sekolah lebih penuh dan berisik ketimbang upacara sekolah. Di sudut lapangan juga ada panggung music yang besar. Enam speaker besar berdiri di tiap sudut lapangan. Mereka siap mengeluarkan music up beat yang diracik oleh dj tamu.
Ratusan siswa yang dinyatakan lulus tumpah ruah di tengah lapangan. Mereka riuh dalam kegembiraan. Mereka saling corat-coret seragam.
Lalu DJ pun memulai musiknya…
Sementara itu Galang yang baru saja tiba, langsung masuk ke tengah lapangan. Dia engga mencari teman sekelasnya. Matanya menyisir ke segala arah. Kiri, kanan, depan, belakang – dia menyortir wajah itu satu per satu untuk mencari seseorang…
“Galang!!!” teriak sesorang keras. Galang menoleh cepat ke sumber suara. Rasa plong dan senyuman lebar langsung tersungging di hati dan wajahnya. “Thea!!!” balasnya teriak.
Mereka setengah berlari menghampiri satu sama lain. Walaupun agak susah karena harus menerobos banyak siswa tapi seperti X dan Y yang ditemukan oleh titik koordinat, mereka terus berjalan membentuk sebuah garis yang simetris. Kebisingan semua itu seakan auto-silence dengan sendirinya.
Seperti anak kecil yang kegirangan, Thea langsung mendaratkan tubuhnya ke tempat yg tepat. Ia peluk orang yang ada di depannya itu dengan kencang. Kencang sekali… Wajahnya bahagia. Senyum engga pernah lepas sedikit pun dari wajah cantiknya.
Engga ada bedanya dengan Thea. Galang pun membalas pelukan itu, even tighter.
“aku lulus!!!” teriak Thea dalam kegirangan. “Iya aku tau!!!” balas Galang, juga dalam kegirangan.
“aku mau ngomong sesuatu sama kamu” ujar Thea sambil melepaskan pelukannya.
“apa???!!!” teriak Galang tak mendengar.
“aku mau ngomong sama kamu Galaaaang…!!!” Thea mengulanginya dengan teriak.
“aku juga mau ngomong sama kamu Thea…!!!” balas Galang, juga dengan teriak.
“kamu dulu !!!”
Galang menganggung dan menghela napas panjang, “aku sayang banget sama kamu Theaaaaaaaaaaa…” teriak Galang ke udara.
Thea hampir saja menangis. Ia menutup mulutnya dengan tangan. ‘aku juga sayang banget sama kamu lang’ ujar Thea dalam hati.
“hey jangan sedih… aku engga boong kok” ucap Galang ketawa.
Thea tersenyum kecil, “iya tau”
Galang tersenyum. Kedua tangannya diletakkan di pipi Thea. Kali ini matanya yang berbicara. Mata itu merefleksikan ketulusan yang amat dalam. Mencintai seseorang yang ada di hadapannya dengan segala kelebihan dan kekurangan. Ada juga rasa takut rasa takut kehilangandi sananya. Dan keduanya sama besar. 
“Thea, aku mencintai kamu sampai kapanpun, bahkan sampai kamu lupa dan gak mau kenal aku tapi aku akan selalu mencintai kamu apa adanya. Aku engga butuh kamu dengan segala kepintaran kamu, dengan segala kejeniusan kamu. aku mencintai kamu dengan semua kekurangan kamu”
Air mata Thea pun menetes.
“aku sadar banget kalau aku berpacaran sama siswi paling pintar di sekolah ini. itu sebabnya aku belajar lebih giat dibandingin temen-temen sekelas ku yang lain. itu semua karna kamu! aku engga mau mempermalukan kamu.  aku engga mau kamu malu punya pacar kayak aku. aku mau kamu bangga punya pacar seperti aku, sama bangganya aku punya pacar seperti kamu” tambah Galang.
Thea menggeleng. Air matanya terus dibiarkan mengalir begitu saja. “engga Lang. aku menyayangi dan mencintai kamu apa adanya. Aku terima kamu juga dengan segala kekuranganmu. kalo aku tau kamu selama ini ngelakuin itu karna aku. aku pasti akan ngelarangnya. aku engga mau kamu melakukan apa yang engga kamu suka” jawab Thea dengan matanya yang semakin merah.
Galang menggeleng. Tangannya masih nempel di pipi Thea. “kamu denger ya, cinta yang tulus tidak akan pernah ada keterpaksaan di dalamnya” tutup Galang.
“oya kamu mau ngomong apa?” tanya Galang.
“oooh… hmm… aku cuma mau bilang aku sayang sama kamu!!!” jawab Thea senyum.
---

Cahaya laptop ikut menyinari balkon malam itu. Galang asyik browsing beberapa universitas negeri untuk meneruskan studinya.
Lalu Thea datang merusak konsentrasinya. “hay sayaaaaang… lagi apa?”
“browsing” jawab Galang singkat.
Thea cemberut. Tangannya dilingkarkan di lengan Galang. Seperti isyarat menyuruhnya untuk berhenti. Dan kepalanya pun disenderkan di bahu kekasihnya itu. “aku mau ngomong” Thea memulai.
“yaudah ngomong aja” cuek Galang. Kini ng-laptop dengan satu tangannya saja.
“tapi kamu dengerin kan…” ujar Thea, tangannya mulai menggenggam tangan Galang.
“iya” jawab Galang masih cuek namun merespon genggaman tangan itu.
“aku mau pergi” ujar Thea pelan.
“kemana?”
“jauh”
“hmmm…”
“ih Galang aku serius!!!” Thea mulai kesal.
“aku juga serius”
Thea memutar pandangan Galang agar hanya tertuju padanya. “kayak gini ekspresi orang serius?!” tanyanya kesal.
“iya!” jawab Galang menaikkan alisnya.
“ah bête ah!!!” dan Thea beranjak pergi.
“aku tau kamu mau ngomong apa…” ujar Galang tiba-tiba. Menghentikan langkah Thea.
Galang berdiri. Wajahnya sekarang lebih serius dibandingkan beberapa menit sebelumnya.
Thea membalikkan badannya. Kedua tangannya dilipat di dada, “akhirnya, seorang Galang bisa serius juga” cibirnya.
“apa yang aku bilang tadi udah serius. kalo kamu mau pergi ya silahkan. aku engga bisa ngelarang kamu. apalagi pergi untuk masa depan kamu. aku siapa bisa menghalangi masa depan kamu?” ujar Galang di luar ekspektasi.
Thea melepaskan lipatan tangannya. “kamu…”
Galang mengangguk. “iya aku tau. bahkan sebelum kamu mau cerita pun, aku udah tau” ujar nya senyum.
“kamu tau dari mana?” tanya Thea heran.
Galang memegang kedua tangan Thea. “I know you better than yourself kan?” jawabnya senyum. “aku liat surat di tas kamu pas kamu di kantin tadi” tambahnya sambil menarik hidup Thea.
Galang membalikkan badannya. Menatap langit yang tak berbintang. Kedua tangannya dilipat di dada. Dia menarik napas panjang. Entah mengapa, malam itu jauh lebih dingin.
Thea memeluk Galang dari belakang. Tangannya dilingkarkan di pinggang Galang erat sekali. Andai waktu bisa berhenti. Ia engga akan pernah menyesal berhenti di momen seperti itu. Lalu air matanya mulai jatuh. “aku engga mau ninggalin kamu” ujarnya lirih.
Galang berusaha menahan air matanya agar tidak menetes. Walaupun berat, tapi ia tau apa yang harus ia lakukan. Galang kembali menarik napas panjang. Ia melepas pelukan Thea. Badannya dialihkan.
“kamu kenapa nangis terus sih?” tanya Galang dengan senyum yang dipaksakan. “sungguh aku engga pa-pa. aku bahagia kalo kamu bahagia. aku ikut senang” tambahnya.
“aku akan pergi selama 4 taun lang” ujar Thea sambil mengusap hidungnya yang mulai berair.
“leaving for good!” kata Galang tersenyum. “Newcastle itu kota yang indah dan tenang. kamu pasti betah di sana. kamu pasti akan lebih konsen belajar di sana. engga yang gangguin kamu kalo belajar. engga ada yang ngisengin kamu lagi” tambah Galang tersenyum lirih.
Thea hanya menggeleng-geleng.
“aku adalah orang yang engga bisa ngelarang kamu. kamu inget kan, waktu kamu tetep ngotot pengen jadi Mayoret padahal aku tau fisik kamu engga kuat kalo harus latihan di tengah lapangan yang terik. kamu juga inget kan waktu kamu ngotot pergi ke Seoul buat student exchange padahal kamu tau cuaca di sana lagi minus. kamu juga inget kan waktu kamu dirawat di rumah sakit tapi kamu ngotot pengen ke sekolah karna pada saat itu lagi ujian” ujar Galang cepat.
Galang tarik napas sejenak. “keinginan kamu semua itu aku engga pernah bisa ngelarangnya kan? aku engga pernah bisa ngelarang kamu dan sekarang pun sama. bagi aku kebahagiaan kamu itu lebih penting. aku bahagia kalo kamu bahagia. pergilah…” tutup Galang dengan senyum.
Thea mengecup bibir Galang cepat lalu memeluknya erat.
“kamu ngomong mulu daritadi. gantian aku yang ngomong. kalo kamu bilang kamu bukan apa-apa, kamu salah Lang. kamu adalah apa-apa buat aku. kamu adalah orang di dunia ini yang paling ngertiin keegoisan aku. justru aku yang bukan apa-apa. engga pernah ngertiin kamu. engga pernah mau denger omongan kamu”
Galang melepaskan pelukan itu. menghapus air mata Thea yang daritadi membasahi hampir seluruh wajahnya. “buat aku, dicintai kamu aja itu sudah anugerah. pergilah… aku melepasmu dengan bahagia” Galang kembali tersenyum.
*** 

Hampir dua tahun sudah Thea pergi. Sepeninggalannya dia, Galang masih sama seperti dulu. Di depan banyak orang, dia selalu ceria – engga ada sedikitpun terlihat kegalauannya. Cuma ia dan Tuhan yang tau bagaimana isi hatinya yang sebenarnya.
Selama dua tahun ini, engga ada komunikasi dengan Thea. Beberapa minggu setelah Thea pergi, komunikasi masih intens tapi sekarang sudah tidak. Galang selalu berpikir, ‘mungkin Thea sibuk dengan tugas kuliahnya’ lalu ia kembali lupa akan kekecewaanya itu.
Bahkan Galang masih tetap berpikir seperti itu saat Thea sama sekali engga mengucapkan ulang taun Galang dua taun terakhir. ‘mungkin Thea lupa karna sibuk dengan tugas kuliah’ selalu berpikir seperti itu. Selalu dan selalu.
Ternyata ada atau tanpa Thea sekali pun, Galang tetap rajin belajar. Terbukti dia menjadi salah satu mahasiswa cum-laude di fakultasnya.
Banyak teman dan banyak cinta yang mendekat. Adalah Nayla, teman sefakultas, teman BEM yang sudah dekat dengan Galang dalam setahun ini. Tiap hari ia selalu diantar jemput Galang. Nayla juga selalu nungguin Galang habis kelas, padahal sering hari itu Nayla sama sekali engga ada kelas.
In the other day, Galang dan Nayla ada di café tempat favourite mereka. Galang sibuk mengerjakan tugas kuliah nya dan Nayla asyik menganggunya. Nayla sering nyubit-nyupit hidung Galang. Mencet-mencet pipi Galang cuma untuk ngebuat Galang kesal.
“Naaaaay… bisa diem gak. Aku lagi ngerjain proposal nih” ujar Galang agak bête.
“gak mau!!! Makanya aku jangan dicuekin terus doong” ucap Nayla cemberut.
Galang masih sibuk berkutat dengan macbook nya.
“laaaaang…” ujar Nayla manja, menarik tangan Galang. “udah dooong ngetiknya…” tambahnya semakin bête.
Galang menoleh. Ia tersenyum. “kamu tuh yaaaa” ujarnya sambil menarik hidung Nayla gemes.
Nayla memukul Galang, “iiiih sakit laaaang”
“abisnya kamu tuh kalo bête lucu tau gak?”
“oooh jadi kamu sengaja ya buat aku bête!”
Galang ketawa puas.
“ih tuh kaaaan…” sewot Nayla, kembali memukul-mukul Galang.
Kemudian tiba-tiba…
“Galang?!” ada orang menghampiri mereka.
“Tobi???!!!” Galang kaget. “apa kabar???” tanya Galang excited ke sahabatnya waktu SMA dulu.
“baek baek…” jawab Tobi.
“hmmm Lang…?” Nayla bingung.
“eh kenalin Tob, ini Nayla” ujar Galang memperkenalkan.
“hallo, Tobi”
“Nayla…”
“ciyee siapa lu lang?” bisik Tobi pelan. Dan Galang hanya senyum.
“eh lu dimana sekarang?” tanya Galang.
“gue kuliah di Bandung. Eh denger-denger Thea di Inggris ya sekarang? Hebat banget deh dia! gue denger-denger juga dia dapat beasiswa full. Bener lang?”cerocos Tobi.
Galang melihat Nayla kikuk.
Wajah Nayla langsung berubah. “Thea?!” tanya nya.
Tobi dan Galang berpandangan kikuk. Galang engga tau mau jawab apa dan Tobi pun mulai merasa bersalah. Pertanyaan itu diajukan di waktu yang engga tepat.
Tobi mulai mengalihkan pembicaraan.
“eh eh lang, sorry gue mesti cabut dulu nih. mau balik ke Bandung. biasa senen ada kuliah pagi. yuk Lang, Nay, gue duluan” pamit Tobi seraya pergi.
“Galaaaaaaaaang…” ujar Nayla mulai menginterogasi.
Galang hanya tersenyum dan kembali duduk di depan laptopnya.
“ih kamu belom jawab pertanyaan aku Lang. Thea itu siapa?”
Galang bergeming.
“Laaaaaaang???”
“Naylaaa… denger ya, Thea itu… hmmm she could be my past” jawab Galang menunduk pelan.
“but could be your future as well?” tanya Nayla sinis.
Galang senyum. Cuma dia yang mengerti maksud dari senyum nya itu. Lalu ia mengelus pipi Nayla. Memandang dalam kedua mata Nayla. Kejadian itu mengingatkan dirinya dengan Thea waktu sekolah dulu.
Galang adalah orang yang sangat relistis. Meskipun begitu, dia masih berharap hubungannya dengan Thea bisa kembali seperti dulu.
“pulang yuk?!” ajak Galang.
Nayla mengangguk. Tangannya engga pernah lepas dari gandengan Galang. No matter what happen. Nayla selalu ada untuk Galang. Saat Galang bahagia maupun sedih.
Seperti kematian orang tua Galang dua bulan yang lalu karna kecelakaan. Nayla lah satu-satu nya orang yang engga pernah lelah selalu berdiri di belakang Galang.
“mama… papa… !!!” teriak Galang sesaat sesampainya di rumah.
Galang melihat kedua orang tuanya sudah terbujur kaku di dalam peti.
“ma, pa bangun!!! jangan tinggalin Galang sendiri. jangan tinggalin Galang sendiri paaaa, maaaa” isak Galang tak terbendung sambil menggoyang-goyangkan badan orang tuanya.
“Laaaaaaang… kamu harus sabar yaaaa” ujar Nayla sambil mengelus-ngelus punggung Galang.
“Naaaay…” Galang menoleh. Wajahnya sudah merah. Air matanya sudah membasahi seluruh wajahnya. Kesedihannya tak tertahan lagi. Dia menumpahkan semuanya di pelukan Nayla. Ia memeluk Nayla erat-erat. “aku udah gak punya siapa-siapa lagi Nay…” ujar Galang lirih dalam dekapan Nayla.
“hey hey hey… kamu masih punya aku Lang. kamu harus inget itu!” ucap Nayla.
Nayla melepaskan pelukannya “sekarang liat aku, liat aku Lang!”
Nayla berusaha menyadarkan Galang. Memegang kedua pipi Galang. “aku ada di sini untuk kamu…” tutup Nayla sedih dan kembali memeluk Galang lebih erat.
---

Matahari kembali mengulang sinarnya
Udaranya sejuk seperti biasa, seperti kemarin, seperti yang sudah-sudah
Lalu datang seseorang berlari dari ujung koridor. Dia terlihat excited dan senang sekali. Dia terus berlari mengarah ke Galang dan Nayla yang kebetulan lagi duduk di bangku dekat danau.
“Galaaaaang…” teriak orang itu.
Galang menoleh heran.
“kenapa tuh sih excel?” tanya Nayla. Galang menaikkan bahunya. “tau!”
“Lang, lu udah liat bulletin board di depan?” tanya Excel terengah-engah.
Galang menggeleng. “ada apa emang?”
“cepet liat gih! You are accepted!” tambah Excel.
“accepted apa?” tanya balik Galang.
“yeeee lu apply apa kemareeenn??!!” Excel kesal.
Galang mencoba mengingat-ingat. “oh jangan-jangan?” lalu ia bergegas berlari menuju bulletin board itu. disusul Excel dan Nayla.
‘We are pleased to inform for following students below that you are accepted to finish your degree in your last two years of your college in Manchester University. Below are things required that you need to submit before your departing to Manchester next week. We congratulate you and good luck!’
Seperti itu kira-kira pengumuman yang tertempel di bulletin board. Ada beberapa nama mahasiswa/I yang terpilih dan salah satunya adalah Galang.
“Laaaaang kamu diterimaaaa!!!” teriak Nayla lompat-lompat kegirangan.
“Selamat bro!” tambah Excel.
Galang masih tertegun dan engga percaya. Sampai akhirnya disadarkan oleh Nayla yang menepuk-nepuk kedua pipi Galang. “hey! selamat yaaaa” ujarnya.
“aku diterima Naaaay…” histeris Galang. Langsung memeluk  Nayla.
---

‘andai aja mama dan papa ada di sini…’ gumam Galang.
“hey kamu kenapa? seneng dooong kamu akan kuliah di luar” ujar Nayla senyum.
“iya, tapi andai aja papa dan mama masih ada …pasti…”
“pasti mereka bangga!” potong Nayla.
Galang tersenyum. “makasih ya Nay… buat semuanya!”
Lalu Galang memeluk Nayla untuk terakhir kali nya sebelum ia pergi. Kepalanya dibenamkan di leher Nayla. Membiarkan waktu yang hanya tinggal beberapa menit itu, tercurah kepada seseorang yang selama ini selalu ada di sampingnya.
Tiba-tiba seperti de javu. Galang teringat juga ketika mengantarkan Thea di bandara dua tahun yang lalu. Andai saja waktu bisa diputar, pasti dulu pelukan itu tidak akan pernah mau dilepasnya kalo ujung-ujung nya itu akan menjadi pelukan terakhir.
Galang menghela napas panjang.
“sama-sama” ucap Nayla sambil mengelus-elus punggung Galang. Seperti biasa. “udah engga ada yang ketinggalan kan? kamu bawa koper sampe 5 gitu, kayak mau pindahan”
“aku kan akan dua tahun di sana. yaudah aku jalan ya…” Galang tersenyum kecil.
Nayla berjinjit dan mendaratkan ciuman ke pipi Galang. “hati-hati ya” pesannya.
Galang membalasnya dengan mengecup kening Nayla. Sambil mengelus-elus rambut lembut Nayla.
Galang pun pergi. Membawa trolley yang hampir menutupi tubuhnya sendiri karna terlalu banyak koper yang ia bawa. Nayla hanya bisa melambaikan tangan dari luar pintu departure. Wajahnya sedih dan sesekali menghapus air matanya yang tak sengaja keluar.
Entah apa yang dirasakan Galang sekarang. Yang jelas ia sedih meninggalkan semuanya, termasuk Nayla. Tapi ia juga cukup excited memulai kehidupan barunya di sana setelah apa yang semuanya terjadi di hidupnya setelah kepergian Thea.  
***

Manchester, 08.00 AM
Suhu kota menunjukkan 7 derajat celcius. Cukup dingin namun apabila ditambah angin yang kadang-kadang berhembus, dinginnya bisa dua kali lipat. Galang sudah mulai terbiasa dengan itu.
Dari flatnya ke kampus hanya membutuhkan waktu 15 menit menggunakan tube atau kereta bawah tanah. Ia memulai semua nya dari nol. Berbulan-bulan sudah ia menjalani semuanya sendiri. ia juga sudah mulai hapal kota Manchester, London dan sekitarnya. Tak banyak yang bisa ia lakukan saat off kuliah kecuali jalan-jalan.
‘I can’t stop missing you even in a day’ gumam Galang melihat wallpaper hanphonenya. Potonya bersama Thea waktu sekolah dulu. Galang tersenyum kecil. ‘we might only in several kilometer dear, but I still couldn’t find you. I will stop wishing but not depressed either – I am just gonna let a time lead us to meet if it will’ tambah Galang.
--- 
Tak terasa salju sudah mulai turun. Sudah Desember ternyata. Tata kota mulai didekor dengan ornament natal. Galang memutuskan untuk ke London hari itu. Sepanjang hari ia hanya ingin mengelilingi kota itu. Melepaskan sejenak dari tugas kampus yang tak pernah habis.
Jas tebal hitam, sarung tangan, rangsel, kamera dan cap selalu menemaninya saat bepergian. Juga ditambah kopi hangat saat itu.
Galang berjalan di bawah London Bridge. Memotret suasana di sana saat bersalju. Berjalan dan terus berjalan memutari London River. Kadang berhenti sejenak, menghadap ke arah sungai lalu berjalan lagi. Sampai akhirnya langkah ia terhenti. Dia melihat seseorang yang dikenalnya dari kejauhan.
Galang meneruskan jalannya. Matanya tertuju pada seseorang yang berada beberapa meter di depannya. ‘apa itu Thea?’ gumam Galang seperti tak mempercayai intuisinya.
Dan benar saja itu Thea…
Thea juga berjalan menghampiri berjalan menghampiri.
Sementara Galang masih engga percaya apa yang dilihatnya. Jantungnya berdetak kencang. Sama seperti dulu ketika ia menyatakan cintanya ke Thea.
Galang engga hanya kaget melihat Thea tapi ia juga amazed melihat Thea sekarang. She is beautiful and always be beautiful even she is more beautiful now.
Kini Thea berambut cokelat panjang dengan bawah agak berikal sedikit. Wajahnya masih sama seperti dulu, hanya saja tidak berkacamata. Memakai kupluk yang menutupi hingga telinganya, scarf merah marun, jas tebal berwarna hitam, jeans hitam, sarung tangan dan sepatu boots.
Galang hanya terdiam menatap Thea yang kini tepat berada di hadapannya. Dia engga hanya terpaku tapi juga bingung harus memulainya dari mana.
Thea pun sama. Engga tau harus memulai dari mana. Padahal saat itu ia ingin sekali langsung memeluk Galang erat. Menunpahkan semua rasa rindunya.
“seberapa lama pun kamu sibuk dengan kuliah kamu dan mengacuhkan aku, aku akan tetep tungguin kamu Thea” ujar Galang memulai.
Thea diam seribu bahasa. Matanya hanya tertuju satu arah. Melihat Galang dalam sekali sampai tak berkedip. Kedua matanya mulai memerah. Air mata itu sebentar lagi akan tumpah.
Galang langsung memeluk Thea erat. Air mata Thea pun jatuh di atas bahu Galang. Thea masih bergeming. Belum ada satu kata pun terlontar dari bibir kecilnya.
Galang semakin mengencangkan pelukannya.
Lalu Thea mulai berontak. Dia kesal. Dia marah dan berusaha melepaskan pelukan itu walaupun ia rindu sekali dengan kehangatan Galang. Tapi ada rasa yang mendorong dia untuk melakukan itu!
Sekuat apapun penolakan Thea, Galang terus memeluknya. Ia engga peduli punggung nya jadi bulan-bulanan pukulan Thea. Dia engga peduli itu. Dia terus mendekap dan mendekap semakin lama semakin erat.
“lepasin Laaang… lepasin!!!”
Galang bergeming.
“lepasin!!!” Thea semakin berontak.
“seberapa besar kamu nyuruh aku pergi, aku engga akan pergi The. seberapa kuat usaha kamu melepaskan pelukan ini, aku engga akan pernah melepaskannya. aku minta maaaf… aku minta maaaf… aku sayang sekali sama kamu. aku cinta sama kamu” ujar Galang cepat. Dan air matanya pun menetes.
“boong! aku tau semuanya Lang. aku tau!!! jangan kamu pikir aku engga tau gimana kamu di Jakarta. aku di sini belajar Lang. aku mati-matian belajar biar aku bisa pulang lebih cepat, biar bisa lulus lebih cepat, biar bisa lebih cepat ketemu kamu” teriak Thea kesal dan marah.
“aku…” Thea berhenti sejenak. Manarik napas dan kembali melanjutkannya. “aku pulang waktu itu Lang tapi kamu di rumah bersama perempuan lain. aku pulang karna aku tau kamu udah engga punya siapa-siapa lagi. aku pikir aku bisa menjadi orang yang bisa nemani kamu seperti dulu tapi aku salah Lang, aku salah. kamu jahat Lang!!!” tambah Thea. Sambil memukul-mukul punggung Galang lebih keras. “kamu jahaaaaaat!!!” teriaknya lagi.
Galang terus menangis. Wajahnya merah. Hidung nya berair.
“kalo ada hal yang bisa menebus kesalahan aku, aku akan lakuin itu The. aku akan lakuin itu untuk kamu. aku minta maaf… aku menyesal…” air mata itu pun kembali tumpah. “harusnya aku sadar diri aku siapa. aku harus sadar kalo aku engga akan pernah bisa dinomorsatukan oleh kamu. aku lupa itu The… aku kesepiaaan… aku sendiri… aku udah engga punya siapa-siapa lagi. aku engga bisa cerita ke kamu. aku tau kamu lagi focus sama kuliah kamu dan aku engga mau ganggu itu. aku engga mau jadi beban buat kamu” cerita panjang Galang.
Galang mulai melepaskan pelukannya. Kedua tangannya memegang pipi Thea. Mereka dekat sekali. Hidung mereka hampir menyentuh.
“sekarang kamu liat aku The. liat mata aku sekarang!” perintah Galang.
Thea melihatnya dengan susah payah.
“aku di sini buat kamu dan kalo kamu engga mau lagi liat aku di sini, kalo kamu jijik sama aku. aku akan pulang… aku akan balik ke Jakarta” ucap Galang lalu menurunkan tangannya.
Galang mengusap air matanya. Mencoba tersenyum walau susah.
“jaga diri kamu baik-baik…” pamit Galang lalu mulai memunggungi Thea dan pergi.
Thea masih terdiam di tempatnya. Ia tertunduk dan masih menangis.
Sampai akhirnya ia melihat ke arah Galang yang sudah berjalan semakin jauh darinya.
Thea menghapus air matanya. Ia mulai berlari. Berlari mengejar Galang. “Galaaaaaang” teriaknya saat dekat.
Galang menoleh cepat.
Thea langsung mendaratkan tubuhnya di pelukan Galang.
Galang kaget. Ia sampai memundurkan salah satu kakinya untuk menahan pelukan Thea itu.
“lupain yang tadi. aku mau kamu tetap di sini sama aku. bahkan aku mau kita di sini berdua selamanya” Thea memulai.
“aku juga mau minta maaf kalo kamu ngerasa dinomorduakan. aku sayang banget sama kamu. aku engga mau kehilangan kamu. aku juga akan berusaha untuk selalu ada buat kamu, biar kamu engga merasa kesepian dan sendiri lagi. biar kamu…” tambahnya tapi terpotong.
“biar apa?” tanya Galang menggoda.
Thea melepaskan pelukannya cepat. “biar kamu engga sama cewe lain!!!” sewotnya.
Galang tersenyum. Lalu mengambil kedua tangan Thea dan menciumnya dalam-dalam “terima kasih…”
***

Jam menunjukkan pukul 07.00 PM waktu kota London. Suhu masih engga jauh berbeda dari hari-hari kemarin. Hanya saja, malam itu turun salju dan angin berhembus cukup kencang dan intens.
Ada suara orang berlari dari arah stasiun kereta bawah tanah. Adalah Thea yang lari tergesa-gesa. Sesekali ia melihat jam yang melingkar di lengan kirinya.
Tujuannya cuma satu, yaitu London River. Beberapa butiran salju dibiarkan menempel di rambutnya. Jas tebal hitam, kupluk, scarf dan sarung tangan merah marun melindungi tubuhnya dari dinginnya kota.
Sudah sekitar setengah jam yang lalu Galang berdiri di sana. Memandangi London River yang dihujani butiran-butiran salju. Ia melihat jam, agak gelisah. Matanya menelusuri ke tiap sudut. Engga begitu banyak orang di sana. Karena malam itu adalah malam natal. Malam yang kebanyakan orang menghabiskan waktunya di rumah. Menghangatkan tubuh dengan kehangatan keluarga yang sedang berkumpul.
Lalu ia melihat seseorang berlari ke arahnya dari ujung sana. Galang tersenyum lega. Dia berdiri di tengah, siap menyambut kekasihnya yang daritadi berusaha untuk ontime itu.
Thea melompat ke pelukan Galang. Galang menangkapnya dan memutar-mutarkan tubuh itu.
Thea berpegangan kencang. Angin itu mengibas-ngibaskan rambutnya dari salju yang menempel. Dia tertawa bahagia. The happiest face ever seen in London!
Galang tersenyum lebar. Dia terus memutar-mutarkan tubuh Thea yang cukup berat itu.
“udah Lang… pusing” teriak Thea.
Galang mengehntikannya. Mereka tertawa lepas.
“aku telat ya?” tanya Thea masih terengah-engah.
“aku akan nungguin kamu di sini sampe 1000 taun” jawab Galang.
“tadi kereta di Newcastle sempet telat. Makanya telat juga sampe sini”
“gak pa-pa sayang…”
Mereka duduk di bangku pinggir sungai. Melihat London Bridge di malam hari. Indah sekali. Diterangi lampu-lampu bernuansa natal. Tak ada sudut kota pun yang tidak indah malam itu.
Thea menyenderkan kepalanya di pundak Galang.
Galang menggenggam erat tangan Thea. Beberapa kali dia mencium tangan itu penuh cinta.
Thea tersenyum lebar.
“Lang…”
“hmm”
“aku engga nyangka kita bakal lulus bareng di sini. kamu hebat bisa keterima di Manchester. aku bangga banget sama kamu!”
Galang hanya tersenyum.
“Lang…”
“hmm”
“Excel gimana kabarnya?” tanya Thea.
“Excel? Kamu kenal dia?” Galang heran.
Thea mengangguk. “dia kan temen SMP aku. aku juga baru in touch lagi sama dia beberapa taun yang lalu”
“oh jangan-jangan kamu tau gimana aku di Jakarta gara-gara dia ya?” tanya Galang curiga.
Thea tertawa. “dia kan mata-mata aku” jawab Thea. “awalnya aku engga percaya sama apa yang dibilang tapi setelah aku liat sendiri pas pulang ke Jakarta, ternyata benar” tambahnya.
“kamu kenapa engga nemuin aku pas balik ke Jakarta?” tanya Galang.
“gimana mau nemuin kamu, aku ngeliat kamu dari jauh aja udah benci banget saat itu!”
“benci means benar-benar cinta, is it?” goda Galang dan tertawa puas.
“iiih!!!” sinis Thea. Dia berusaha melepaskan genggaman Galang.
“ssssttt…” Galang menahan.  “udah gak usah dibahas. aku emang manusia terbodoh di dunia ini sampai lupa kalo punya pacar yang pintar, cantik dan baik seperti kamu”
“kalo di Indonesia ada undang-undang kelalaian seperti yang aku buat, aku siap ditembak mati” tambah Galang.
Thea menutup mulut Galang dengan telunjuknya. “sssttt”
Galang menyingkarkan telunjuk itu. Dia mendekatkan wajah nya ke hadapan Thea. Dekat sekali…
Thea menutup mata perlahan. Jantung nya mendadak berdetak lebih kencang. Lalu dia merasakan ada sentuhan lembut menyentuh bibirnya. Lama sekali…
Galang mulai memundurkan wajahnya pelan. Thea mulai membuka matanya. Dan mereka saling tersenyum.

-The end-


Label:



Older Post
Navigations!

Refresh About Cerpen Cerbung


Let's Talk!

Followers!


message?


The Credits!

Template by : Farisyaa Awayy
Basecode by : Nurynn
Full Edited : Tria