KakaTriaa Blog
Lumpuhkan Ingatanku

10/15/2013 @ 5:26 PM | 0 Comment [s]

Ini udah taun ketiga aku lulus dari masa masa yg paling indah. Orang bilang masa SMA adalah masa yg gak akan pernah bisa dilupain. Masa SMA juga menjadi masa transisi dari remaja menuju dewasa. Rasanya waktu itu aku cukup dewasa mengenal apa itu cinta, apa itu pengorbanan dan apa itu sakit hati. Dan orang yg memperkenalkan aku atas itu semua adalah dia. Dia yg sampe saat ini masih saja ada di pikiran dan hati – tak ada sedetikpun ku tak memikirkannya.

Aku masih di sini, di Jakarta. Masih dengan lingkungan yg gak jauh beda saat sekolah dulu. Ada banyak teman namun satu kesunyian masih terasa. Jadwal kuliah yg padat ditambah jadwal hang out harusnya bisa sedikit melupakan pikiranku tentang dia. Tapi aku salah… banyak cinta datang setelah dia harusnya bisa menggantikan posisi dia tapi aku juga salah…

Mengganggu! Ya sangat mengganggu. Dia yg sekarang kehadirannya aja aku gak tau dimana tapi sosok bayangannya masih aja menghantui pikiran dan hati ini. Dia emang bukan yg pertama tapi bisa dibilang dia yg terindah. Kadang masa-masa aku sama dia waktu dulu terlintas begitu aja, dan suka buat senyum-senyum sendiri. Belakangan ini memoriku tentang dia semakin menguat, perasaan rindu ini semakin memuncak. Namun kegalauan ini juga semakin pekat, semakin pekat dan semakin pekat – semakin membuatku sulit lepas dari bayangan dia. Bego kan? kayak orang bego emang! Apa namanya kalo bukan orang bego yg masih aja mikirin seseorang yg jelas-jelas udah gak tau dimana. Gak ada nomor telpon atau alamat – kita pisah begitu aja. Satu kalimat terakhir yg dia ucapin, “aku engga bisa longdistance dan aku ingin focus” dan dia pergi begitu aja saat lulus SMA. Kudengar dia pindah ke Bandung, mau ambil beasiswa arsitekturnya di UNPAD.

Sementara aku? aku yg dulu rela rela aja merelakan dia pergi begitu aja. Engga mungkin juga aku bilang untuk engga pergi, itu akan sangat egois sekali. Lagian kegengsian juga masih terpatri saat itu. “gue ini cewe, gengsi ah nahan-nahan dia! kalo dia emang sayang gue, dia pasti bakal balik kok” pikir ku (saat itu). Tapi saat ini? Bego banget! Sampai saat ini dia engga balik tuh… “Berarti dia engga sayang sama lo ndai” kata salah satu temenku. Ngomong sih emang lebih enak daripada ngerasain. Ibaratnya seintens apapun orang bilang ke elo tentang A tapi kalo hati lo tetep B, Lo bisa apa coba?

“Ndai, woy! Ngelamun aja lo!” ujar Chelsea mengagetkan ku.
“Eh… engga kok!”
“Kelas yuk?!” ajaknya sambil mengudek-ngudek tasnya. Entah apa yg dicarinya.
“Gue balik aja ah chels”
“Kenapa? masih ada satu kelas lagi kan?” herannya, dan kini udah memegang Iphone terbarunya.
“Males aja hehe”
Chelsea cuma ngeliat ku heran. Matanya tajam menatap ku penuh kecurigaan. Chelsea adalah satu-satunya orang yg tau benar apa yg aku rasain selama ini. Dia juga tau tentang dia! Engga ada hal tentangku yg Chelsea engga tau, she is the best friend I’ve ever had! “hehe titip absen ya beh” pesanku.
“Biasa deh… yaudah! Gue ke kelas dulu ya. Dagh!” pamitnya sambil cepika-cepiki. Dan engga lama dia udah meninggalkan ku.

Aku masih melihatnya dari salah satu tempat duduk di kantin kampus ini, tubuh kecilnya sama sekali gak merepresentasikan jiwanya. Mama & Papa nya udah bercerai sejak kita SMA dan dia sama sekali engga terlihat seperti anak yg broken home. Dia sering bilang, broken home itu cuma keadaan. Tujuan tetep kita yg mendirect.  Aku salut sama dia, hati nya bisa setegar karang dan hatinya juga bisa selembut kapas. Seiring pikiranku terhadapnya, dia udah hilang dari pandanganku – berbelok ke gedung 4 di depan sana, tempat kelas Pak Haryono berlangsung.


Dalam diam di kamar, fantasi ku melayang-layang memflasback ke memori-memori itu. Sengaja aku menyenderkan sejenak tubuhku di kursi putar ini. Ku alihkan sebentar pandanganku dari laptop yg menyala itu. Hand out materi dari mata kuliah yg berbeda ku biarkan berserakan di deket laptop. Menjadi orang tuli sejenak dari tugas yg berteriak-teriak menuntut dikerjakan.

Kualihkan pandanganku ke jendela, melihat sejenak keadaan luar dari lantai dua kamar ku. Ranting-ranting pohon itu bergoyang, seperti melambaikan tangan ke arahku. Aku tersenyum kecil, bukan ke pohonnya namun ke angin yg menggerakkannya. Fantasi ku pun ikut melayang terbang terbawa angin.

“Gas mau kemana?” tanyaku heran
“Udah ikut aja…” sautnya masih sambil menarik tanganku. Entah mau dibawa kemana. Dia menarikku tiba tiba saat ku baru mau masuk kelas.
“Gas bentar lagi kan bel”
“Ya terus?!” dia masih menariku menuju parkiran sekolah
“Nabrak!”
Dia cuma tersenyum kecil. Walaupun engga bisa liat langsung tapi terlihat dari belakang pipinya menaik, mengukir senyuman kecil di wajah manisnya.
“Nah kamu pake helm dulu ya” ujarnya sambil mengambil helm di motornya sesaat setelah kita sampai parkiran.
Wajahku masih heran, kemana Bagas akan membawa ku di tengah jam sekolah begini. Pake helm pula! “Mau keman…”
“Ssstt! Gak usah banyak omong!” ujarnya memotong omonganku.
Dipakaikannya helmnya itu ke kepalaku dan engga lupa mengaitkannya juga.

Kita pergi meninggalkan sekolah. Mengenyahkan sejenak peraturan sekolah. Bagas membawaku ku ke sebuah danau. Jujur aku aja engga tau kalo ada danau di pinggir Jakarta. Entah tau dari mana Bagas akan keberadaan tempat itu, yg jelas dia membawaku ke sana. Indah sekali… gak ada orang di sana, walaupun pemandangannya gak seindah Lembang di Bandung, Kawah Putih atau perkebunan teh tapi ini cukup, cukup membuat mata terperanga akan tempat yg engga pernah ada di benak ku sebelumnya.

Danau yg engga begitu besar tapi tetep indah. Di sekelilingnya tumbuh pepohonan subur yg membuat udara jadi lebih sejuk. Udara yg terhirup juga beda. Rasanya tenang… sangat tenang. Ada ayunan ban juga tergantung di salah satu pohon di sana. Mungkin tempat ini dijadikan tempat bermain buat anak anak juga.

Aku memejamkan mata sambil menghirup aroma udara bersih. “Indah banget!!!” ujarku saat kembali membuka mata
“Suka?” tanyanya
Aku mengangguk yakin, “banget!” sambil asik menghadiahkan mata berupa pemandangan yg jarang diliat
“Rasanya tenang ya kalo di sini”
“Eh kamu suka ke sini?” tanyaku
“Iya tapi gak sering”
“Jahat!” pukulku ke lengan kanannya, “Kok gak ngajak-ngajak sih?!”
“Aw! Ini aku ajak kan… hehe” jawabnya dan ku balas dengan monyongan bibir ku beberapa senti
“Eh ndai?”
“Iya?”
“Liat itu deh… Indah banget kan?” ujarnya sambil menunjuk pemandangan di arah sana. Aku mengikuti tunjukkan Bagas itu. Apa yg ditunjukknya sama saja, sama saja seperti pemandangan yg ku liat sebelumnya – engga ada yg lebih indah. “Apaan deh, gak ada apa-apa kok” heran ku dan menoleh kembali.

Dan… waktu seakan tiba tiba berhenti. Jantung lebih bekerja extra memompa darah ke seluruh tubuh – sampai terasa setiap aliran darah yg mengalir begitu kencang.

Bagas sengaja mendekatkan kepalanya. And you know what? Tolehan kepala ku tadi membuat bibir kita bertemu, accidently!  Mungkin accident bagi ku tapi engga buat Bagas. beberapa detik menempel dan mata kita bertemu. Ada rasa puas di mata Bagas. Di mata ku? engga tau deh, expresi orang bodoh mungkin. Setelah mencerna kejadian itu, sontak aku mendorong tubuh Bagas. “Gas ih…!!!” geramku sambil menggosok gosok bibirku
Dia tertawa puas. “Kenapa emang?” tanyanya pilon
“Jangan macem-macem ya!”
“Hahaha engga kok, cuma satu macem aja”
“Ish!!!” jutekku sambil menahan ketawa geli.

Itu segelumit kecil memori indah yg ku miliki bersama Bagas. Ya Bagas yg ngebuat aku suka senyum-senyum sendiri. seperti sekarang. Ingatan-ingatan itu selalu mengingatkan kenangan aku bersama Bagas waktu sekolah dulu.

Aku tersenyum malu dalam diam, sambil memegang bibir ini. Mencoba mengingat rasa pada saat itu. Lantas bagaimana mungkin aku bisa melupakan ingatan tentang dia, kalo ingatanku tentang dia saja masih sering datang.

“No cindai!!! Focus!!! Taun ini lu harus lulus! Take away from those disturbing things!” gumamku meyakinkan diri.


Menjalani taun terakhir menjadi mahasiswa itu cukup berat. Belom lagi dikejar-kejar deadline skripsi, belom lagi ditanyai keluarga tentang kapan wisuda dan ditambah hasrat keinginan untuk melupakan Bagas dari hari hari ku semakin besar. Namun hanya dua hal yg baru bisa ku lakuin. Menyelesaikan skripsi tepat waktu dan wisuda.

Empat taun cukup untuk menancapkan gelar sarjana di belakang nama ku. Keinginan waktu SMA, saat wisuda seperti ini berharap ada seseorang yg bisa menemaniku. Tapi ya sudahlah… cukup berbesar hati kalo itu cuma sekedar impian.

Aku melihat beberapa teman seangkatan ku gembira, segembira aku dan Chelsea. Selesai upacara pelepasan bersama rektor dan jajaran petinggi kampus lainnya, kita keluar hall – sibuk berphoto untuk kenang-kenangan. Terbesit rasa sedih yg datang tiba tiba, bukan karena keluarga ku. Bersyukur mereka masih komplit bisa mendampingi ku sampai saat ini. Namun, ketidakhadiran Bagas yg terasa mengganjal. Sejak Bagas meninggalkanku, aku jadi suka dengan kata ‘andaikan’. Andaikan Bagas waktu itu engga melepaskanku, andaikan Bagas bisa terus menemaniku, andaikan Bagas ada di sini, andaikan Bagas menjadi salah satu tamu yg datang mengucapkan selamat, andaikan, andaikan… Andaikan keadaan sama seperti dulu, saat Bagas masih ada di sisiku.

Because I love the ways he kept struggling, saat baru mulai mendekati ku dengan berbagai cara. Dari mencari tau tentangku dari Chelsea sampai jadi mata-mata amatiran yg tiap malam pura-pura lewat di depan rumah. Saat Bagas menyatakan cintanya, membiarkan kulit putihnya tersengat matahari demi untuk menyusun tulisan I LOVE YOU di tengah lapangan.

I love the ways he protected me, saat Bagas berantem di sekolah gara gara gak terima dengan anak baru yg mendekatiku. Saat Bagas melindungiku dari tawuran antar sekolah. Saat Bagas menggendongku waktu ku kelelahan pas hiking.

I love the ways he broke the rules, saat Bagas suka mengajak bolos untuk pergi ke suatu tempat. Saat Bagas sengaja engga mengumpulkan tugasnya demi menemani aku yg dihukum di luar kelas. Saat Bagas yg rela telat upacara demi mengantarkan ku ke dokter terlebih dahulu.
I love the ways he loved me but I hate how he leaved me.

Kebisingan dan eoforia saat itu, seakan sunyi sesaat saat aku teringat semua tentang Bagas…

*** 

Having an Event Organizer is one of my dreams. Setahun setelah lulus kuliah, masa yg cukup untuk menjajal berbagai macam perkerjaan untuk mencari yg cocok dan nyaman di hati. Dan di Event Organizer ini aku menemukan kenyamanan tapi tetep memiliki pressure yg sama seperti saat bekerja di kantor.

Chelsea masih menjadi sahabat terbaik ku. Menemaniku membangun EO ini, dari awal sampai sekarang. Berawal dari modal kita berdua sampai saat ini udah cukup mengembalikan modal itu. Lulusan jurusan komunikasi ada untungnya juga terjun ke dunia ini, bisa gampang melobi konsumen untuk memakai jasa kita.

Pagi itu cukup indah untuk mengawali nya dengan penuh harapan. Namun Chelsea… ada yg aneh dari Chelsea pagi itu. Engga biasanya dia menolak seorang klien seperti itu. “Kok gak diambil sih chels, itu event besar loh” kata ku
“Ah cuma acara pertunangan biasa kok” alasannya.
“Terus? Jangan gak professional gitu ah!” “Udah, telpon lagi, bilang kita sanggup!” pesan ku.
“Yaudah tapi khusus proyek ini, gue yg handle aja ya. Lu gak usah ikut andil”
“Terserah deh”

Sejak terima project itu, Chelsea jadi orang yg super sibuk. Engga biasanya dia mengerjakan semua muanya sendiri. Biasanya dia selalu minta untuk build up the team work! Tiap hari mondar-mandir kantor, ketemu klien itu untuk sekedar menanyai lagi tentang konsep-konsep acara. Sementara aku sibuk melihat dia yg sibuk.

“Chels, sini gue ikut bantu” pinta ku sambil berjalan mendekati mejanya yg penuh berkas.
“Gak usah ndai, gue bisa kok!”
“Jangan gitu dong, gue kan gak mau lu kerja sendiri” kata ku, duduk di meja kerjanya.
“Sendiri? Kata siapa sendiri? Kan ada team chattering, decoration yg bantu gue”
“Yaa tapi gak gitu juga chels, ini kan EO kita – jadi ya kita berdua harus ikut andil dalam tiap event”
“Engga semua ya…”
“Lu kenapa sih chels?”
“Kenapa gimana? gue gak papa!” katanya agak kik kuk.
“Are you trying to hide me something?”
“Apa deh ndai, gue gak nyembunyiin apa apa kok”

Aku masih focus menatapnya penuh kecurigaan. Sama sekali tak percaya apa yg dia ucapkan. “Hmm okay okay, kalo lu mau bantu ya silahkan… tapi bagian internalnya aja ya, urusan ketemu klien gue yg handle” Chelsea masih kik kuk.
“Gitu dong…” ucapku tersenyum lebar.

Tiga bulan aku menyiapkan untuk event ini, tanpa tau siapa klien ini. Aku hanya mengikuti instruksi Chelsea saja tentang konsep. Karna cuma dia yg komunikasi dengan klien nya. Chelsea sering bilang, engga penting untuk tau siapa pemilik event ini. But you know what? Semakin disembunyikan, semakin penasaran. Don’t you think?

Tapi aku sih manut aja. Berusaha engga peduli siapapun dia dibalik semua ini, aku terus berusha bersikap professional. Ku tenggelamkan kesibukan ku dalam pekerjaan itu. Meskipun begitu, Bagas masih selalu ada di sela sela kesibukan ku. Seperti apa dia sekarang? Jadi apa dia sekarang? Pikirku si sela sela pekerjaan ku. Entah keyakinan dari mana, suatu saat kita pasti bertemu. Tuhan udah merencanakan itu semua, aku yakin itu.

Engga menuntut apa-apa, cuma bisa melihat dia lagi aja udah cukup buatku. Dan kalo dikasih kesempatan lebih banyak, bisa kah kita seperti dulu? Because I’ve never leaved any single day without missing him…
---

Hari itu, hari itu akhirnya datang. Di hall ini, di hotel, di tanggal ini, di waktu ini dan di menit ini. Baru kali ini aku merasa, sebuah perasaan yg gak pernah ada sebelumnya.

Sebuah harapan yg selama ini dipertahankan, hancur pada saat itu. Sebuah memori manis yg terpatri berubah pahit pada saat itu. Sebuah penantian panjang langsung berubah tak berguna juga pada saat itu.

Wangi wangian bunga putih menghiasi sekeliling hall berubah menjadi aroma yg menusuk yg membuat sesak. Orang orang terlihat seperti mengasihaniku. Orang orang terlihat seperti menertawakanku, mengejekku dan mengolok-ngolokkanku. Mereka semua tertawa bahagia dalam keremukkan hati ini.

“Ndai…” lirih seseorang tiba tiba. Medatangi ku yg tertegun di depan hall.
Aku menoleh, merehat sejenak dari proses memahami ini semua.
“Maafin gue ndai…” ujar Chelsea, air matanya mulai menetes membasahi make up nya. “Waktu itu… waktu itu gue pernah bilang…” ucapannya terhenti, nafas nya sesak – seperti susah ingin meneruskan ucapannya.

Aku menggeleng tak percaya. Mata ini pun memerah dan air mata pun jatuh. Mengucur dan semakin mengucur, gak ada hal yg bisa membendungnya. Ku basuh air mata itu, mencoba senyum terpaksa di depan sahabat ku itu. Mencoba bersikap fine but actually I am NOT!
“Waktu itu gue udh bilang gak mau ambil job ini” ujar Chelsea, udah menormalkan rasa sesaknya. “Tapi lu…”
“Gak papa!” ucapku sambil mendangak, berusaha menahan air mata ini agar tidak jatuh. “Hal ini udah ngebuka mata gue” tambahku sambil mengusap air mata yg bandel menetes.
Chelsea memelukku erat, menumpahkan penyesalannnya. Chelsea mengerti, ia mengerti dimana aku merasa comfort di situasi seperti ini. Cuma dia, cuma dia orang membuatku nyaman. Aku memeluknya erat, lebih erat untuk mentransfer sebagian kesakitan ku ini. “Lo harus…”
“Iya, gue ngerti” ucapku memotong. “Gue butuh waktu sendiri”

Chelsea mengangguk. Dia melepaskan pelukannya dan membiarkanku jalan sendiri. Berjalan menjauh dari hall tempat pertunangan Bagas. Ya event itu, event itu adalah event pertunangan Bagas. Event yg aku dekor beberapa bulan terakhir ternyata untuk Bagas. Bertungan dengan siapa, aku gak tau. Mungkin teman kampusnya atau siapapun lah itu. Aku engga menyalahkan siapapun, baik Chelsea ataupun Bagas. Chelsea pasti punya alasan tersendiri untuk engga cerita apapun. Sementara Bagas? Mungkin, mungkin dia juga punya alasan. Alasan yg aku gak pernah tau apa itu.

“Cindai…” seseorang menghentikan jalan ku dalam ketertundukkan.
Aku menoleh ke belakang. Ada seseorang yg selama ini udah menganggu ku akan ingatan-ingatan ku bersamanya. Dia berbalut jas yg serba hitam, hanya kemejanya saja yg putih. Dia tampak masih sama bagi ku, masih seperti dulu.
“Maaf…” satu kata pertama yg terucap
“Aku yg bodoh”
“Bukan! Aku yg bodoh. Aku yg bodoh udah ninggalin kamu. Aku yg bodoh gak hubungi kamu. Aku yg bodoh rela rela aja ditunangin. Aku yg bodoh yg engga tau pemilik EO itu kamu. Aku yg bodoh yg dulu engga mempertahanin kamu” ujarnya dengan mata memerah.

Kedua tangannya kini menutupi wajahnya. Sedikit membungkuk, sambil membasuh air matanya yg mengucur deras. Hidung nya kini juga memerah. Mata nya menyinarkan segumpal penyesalan yg engga bisa dijelasin lagi melalu kata-kata.

Dia berjalan pelan ke arah ku. Membasuh air mata ku yg daritadi terus mengucur. Dia juga sempat membelai rambutku, persis seperti yg dulu sering dia lakukan. Bagas menaruh kedua tangannya di pipiku, mengusap lembut sambil terus menatapku. Dan dia mulai mendekatkan wajahnya ke arah ku. Ku pejamkan penglihatan sejenak dan mendarat sebuah sentuhan lembut tepat di bibir ku.

Ku seperti mematung. Membiarkan Bagas memberikan ‘salam terakhir’ itu. Ku pejamkan dalam mata ini sehingga aku hanya bisa merasakan rasa basah, karna kita berdua saling menangis. Saling menangis tak rela merelakan memori-memori itu harus tinggal bersemayam.

Memori saat masih bersama-sama itu, kini engga akan pernah bisa untuk direplay kembali. Bagas is the past and always be the past. Maybe he’s the reason how I am today but he keeps never be existing in my present. Kadang hidup diposisikan pada dua pilihan. Dua pilihan yg engga pernah mudah untuk dipilih. Namun kini ku yakin. Yakin untuk melumpuhkan semua ingatanku tentang dia…

  -the end-



Note:
Terima kasih yg masih setia nungguin tulisan gue. Makasih juga yg udah mau baca ini. Jujur cerita ini sangat tidak remaja, bukan bermaksud apa-apa. Hanya saja, pengen mencoba keluar dari comfort zone. Gue pengen mencoba menulis hal yg beda dari tulisan-tulisan gue sebelumnya. Kadang imajinasi suka keluar dari track record kita kan? Dan kebetulan kali ini imajinasi gue terinspirasi dari lagu Geisha. Bukan pengalaman pribadi tapi gue cuma mencoba merepresentasikan maksud dari lagu tersebut...

Okay! Hope you like it, see you there at another projects! Don't forget to give comment(s). Mention me @trieacumy and let me know what you think about.
-THANK YOU-

Label:



Older Post | Newer Post
Navigations!

Refresh About Cerpen Cerbung


Let's Talk!

Followers!


message?


The Credits!

Template by : Farisyaa Awayy
Basecode by : Nurynn
Full Edited : Tria