Story of My Life
12/26/2014 @ 2:50 PM | 0 Comment [s]
Manado siang itu begitu
terik. Matahari seakan sejengkal di atas kepala. Aku sedang kerepotan membawa
barang-barangku ini. Tangan kiri dan kanan ku membawa tas hitam lusuh punya Papa.
Ada beberapa robekan dan lobang di tiap sudut tasnya. Aku pernah naruh permen dan
kelereng di sana pas berangkat sekolah tapi sesampai di sekolah semuanya lenyap
karena sudah berjatuhan di jalan.
Aku engga peduli walau rambut
ku sudah lepek karna keringat. Baju basah, Kena paparan sinar matahari atau asap
polusi dari kendaraan yang wara-wiri.
“pokoknya aku harus menang, demi ayah” tekadnya
bergumam.
Akhirnya kaki kecil ku
terhenti di sebuah gereja cukup besar di tengah kota. Aku tersenyum lebar dan
menarik napas panjang. Seolah penderitaanku terhenti sudah. Aku berjalan pelan
ke pintu masuk. Saat itu suasananya bernuansa merah dan dipenuhi dengan ornament
natal. Di pintu depan terdapat dua pohon natal besar. Ada juga hiasan
bertuliskan Welcome and Merry Christmas di atas pintu. “Welcome home Cindai…” ujarku
dalam hati.
***
15.00 WIT
Gereja sudah dipenuhi
orang-orang. Sekedar pengunjung atau jamaat gereja? Entah lah tapi yang jelas
mereka datang untuk melihat kompetisi ini.
“Cindai? sudah siap?!”
tanya Ibu Maria, pengurus sekaligus panitia kompetisi nyanyi antar gereja
seMenado itu.
“Iya bu, sebentar lagi”
“Ingat ya, kamu jadi
peserta pertama yang tampil. Do your best, show them off!” ujar Ibu paruh baya
itu memberi semangat.
“Yes madam, thank you!”
“Jangan lupa berdoa”
pesannya lalu pergi meninggalkan Cindai dengan segala perlengkapan manggungnya.
Aku mengangguk yakin. Kualihkan
kembali badan ke depan cermin. Aku tertawa geli. Aku tak menyangka! Penampilan
ku tiga ratus enam puluh derajat berubah dari beberapa jam lalu sebelum acara
dimulai. Gaun putih, rambut sudah diblow, agak berombak dan bervolume. Poni
dikesampingkan. Terlihat sedikit lebih dewasa sih. dan pakai heels yang senada
dengan baju. Polesan make up yang natural, terkesan alami dan suci. Perfect!
Engga sia-sia sudah dua
minggu ia belajar make up dari tante khusus untuk acara ini. Peralatan make up
pun semua dipinjamkan oleh tante nya. Aku sadar banget, untuk makan aku dan
keluarga tiap hari saja sudah susah – apa jadinya kalo ditambah beli peralatan
make up? Rasanya tak pernah terpikirkan sama sekali.
Baju dan sepatunya pun diberikan
oleh sahabat ku yang cukup kaya. Sudah tidak terpakai, katanya. ‘My goodness,
baju masih sebagus ini sudah tidak terpakai’?
“Cindai? ayo!” ujar Ibu
Maria mengagetkan.
”Hmm!” Aku mengangguk.
Aku memulai berdoa. kupejamkan
mata sejenak. ‘Tuhan, terimakasih sudah memberikan kesempatan untuk Cindai bisa
ke sini. Terima kasih untuk sepatu, baju dan semuanya. Biarkan Cindai bernyanyi
untukMu, mama, papa dan keluarga. Berikan kesempatan untuk Cindai, untuk bisa membahagiakan
mereka. Amin’
---
Tepuk tangan penonton
menyambut ku. Khawatir dan was-was mulai melipir di pikiran. Berdiri di atas
panggung yang dilatarbelakangi pohon natal merah, lengkap dengan kado-kado di
bawahnya. Ditonton puluhan orang. Ada piano hitam plus dengan sang pianist juga
di sudut panggung. Aku menghela napas.
Tak ada mama atau papa di
sana, yang ada hanya tante dan sahabatku. Papa dan Mama memang tak tau
keikutsertaan ku dalam kompetisi ini. Mereka terlalu khawatir akan ini itu.
Bahkan gimana kalau tau acaranya sangat jauh dari desa? Jangankan meminta izin,
untuk cerita saja rasanya sudah takut. Aku tau sekali karakter mereka.
Aku mulai memberikan kode
ke si pianist. Menandakan siap memulai.
I’m Your Angel
berkumandang di gereja itu. Begitu indah, begitu hikmat, begitu mempesona…
***
“You did a great job
Cindai” puji Ibu Maria di backstage.
“Makasih bu”
“Tinggal kita serahkan
sama Tuhan ya…”
Sekarang tinggal menanti
pengumuman. Rasanya engga mungkin bisa memenangkan lomba ini. Yang
dilatarbelakangi sama les vocal saja belum tentu menang. Apalagi aku? Siapa
aku? Cuma anak dari seorang petani dan buruh cuci, yang lagi bermimpi bisa
menang lomba di acara yang cukup besar ini. Biarlah, namanya juga mimpi. Nanti
saatnya bangun aku juga sudah sadar kembali – ada puluhan pakaian kotor yang
mesti diangkut dari rumah-rumah langganan mama.
“Dan pemenangnya adalah…”
teriak MC antusias
Semua kontestan sudah
berdiri di panggung. Aku tertunduk, hopeless apalagi saat mendengar pengumuman
si pemenang.
“Selamat kepada Angel
sebagai juara lomba menyanyi antar gereja seMenado!!!” teriak MC.
Hancur sudah harapanku.
Sia-sia sudah semua ini. Pinjaman dari tante, pemberian dari sahabatku.
Semuanya tak bisa mengantarkanku jadi pemenang. Maafin aku semuanya…
Aku pulang dengan
tertunduk. Walaupun orang-orang bilang penampilanku bagus tapi tetap saja aku
bukan pemenang. Rasanya malu, kecewa dan sedih. Semuanya campur aduk! Hiburan
dari tante dan sahabatku saja rasanya tak berpengaruh apapun. Aku tetap jalan
tertunduk. Membawa semua serpihan harapan ini kembali pulang untuk ku rajut
kembali.
***
Seminggu setelah kompetisi
itu, rasanya hidupku mulai tak tenang. Ada saja orang yang mencariku. Bahkan
sehari saja, bisa ada puluhan kali telpon yang berdering mencariku. Hmm
maksudnya bukan telpon aku tetapi telepon tetangga yang mencariku.
Rata-rata yang menelpon
adalah orang-orang yang hadir di kompetisi itu. Mereka semua mengajak aku untuk
ke Jakarta, menjadi penyanyi professional di sana. Ah tapi sama sajalah, toh pada
akhirnya sebuah mimpi akan tetap menjadi mimpi. Aku hiraukan mereka semua.
Lalu ada orang dermawan
yang datang di suatu pagi. Dia mengetuk pintu rumahku secara perlahan. Papa
keluar dan diikuti oleh mama. Mereka berbicara serius dan sangat serius. Aku
sampai enggak berani untuk diam-diam mengupingnya.
Sampai akhirnya mereka
semua melirik ku dengan tajam. Aku takut! Papa engga pernah punya pandangan
setajam itu. Apa aku berbuat salah? Mama juga. Matanya mulai berair. Ada apa
ini?
“Pergilah ke Jakarta nak”
ucap Papa
“Pa? kenapa?” tanya ku
kaget
“Pergilah nak, kejar mimpi
mu” tambah Mama
“Ini ada apa sih?”
Lalu aku mulai tahu kalau
orang dermawan itu adalah seorang produser. Dia diperlihatkan oleh tante ku video
penampilanku saat kompetisi itu. Aku engga tahu bagaimana dia bisa meyakinkan
Mama dan Papa sampai aku diperbolehkan pergi ke Jakarta.
Namun yang jelas, atas
seizin dari kedua orang tua ku itu – aku ke Jakarta. Anak desa kayak aku bisa
menginjakkan kaki di kota semetropolitan seperti Jakarta rasanya seperti mimpi.
Aku tersenyum lebar di dalam pesawat. Pesawat pertama kali yang aku tumpangi
ini juga akan menjadi secuil cerita yang aku akan bagikan saat sukses nanti.
***
Berbulan-bulan aku
menumpang di rumah Pak Produser ini. Oh tidak, dia bukan hanya produser tapi
juga seorang mentor dan ayah. Aku bersyukur sekali sama Tuhan dipertemukan
orang baik seperti dia. Aku tak hanya dibekali dengan latihan vocal tapi juga
penampilan dan atitut. It is whole package!
Berpindah-pindah dari tv
satu dan lain. Berpindah-pindah dari radio satu dan lain. Berpindah-pindah dari
mall satu dan lain. Berpindah-pindah dari sekolah satu dan lain untuk promosi
debut pertama. Rasanya capek dan lelah kalau sampai perjuangan ini akhirnya
akan sama seperti yang udah-udah.
Namun Ibu Maria sesekali
suka telpon. Kadang hanya sekedar tanya kabar tapi seringnya juga memberi
semangat. Dia selalu bilang Tuhan akan selalu ada untuk umatnya yang berusaha.
Itu suplemen yang aku ingat tiap hari. Tiap kali ingat itu, seketika itu juga
aku semangat. Terima kasih ibu Maria!
When opportunity meets
ability, it is a luck!!! Aku engga lagi promo. Saatnya memanen apa yang sudah
ditanam. Tawaran manggung engga berhenti-hentinya datang. Dari dalam kota, luar
kota, luar negera bahkan luar benua. Puji Tuhan! Bahkan engga hanya dapat tawaran
nyanyi, film pun berdatangan. Banyak produser yang mau mengangkat kisah sedihku
but I don’t want to sell my sadness or family background. I will sell my
ability in singing. Let my past is always be my past but they will always be my
parts in story of my life.
“Seperti itu lah kisah ku…”
ujar Cindai tersenyum lebar
Cindai mengakhiri
ceritanya di mimbar Gereja Manado, tempatnya beribadah tiap minggu sewaktu
masih tinggal di Manado. Jemaat di dalam sana, memberi standing applause
terhadap kisah inspiratif yang baru saja dibagikan oleh Cindai. Ada Ibu Maria
dan Pak Produser juga disana. Ikut bertepuk tangan bangga. Mama dan Papa tak bisa
menahan air matanya. Mereka semua berdiri, menatap bangga putri kebanggaan kota
Manado.
Label: Cerpen |
Navigations! Let's Talk! Followers! message?
The Credits! |