Jauh di Mata
7/11/2015 @ 11:04 AM | 0 Comment [s]
Bau hujan saja masih tercium.
Walaupun hujan sudah berhenti beberapa jam yang lalu namun udara dingin
tampaknya akan masih lama menyelimuti kota Palembang itu.
Malam semakin sunyi, hembusan
angin semakin menusuk tulang karena dinginnya. Ada beberapa lampu jalan
mengerip-ngerip seperti mau putus. Mungkin agak konslet karena air merembes
masuk ke dalamnya.
Dinginnya malam itu tak
menyurutkan hasrat Bagas untuk keluar rumah. Di sebuah jalan yang sepi, dia
memberhentikan motor matic nya lalu mulai berjalan pelan menelusuri jembatan
Ampera nan indah dan berwarna di malam hari.
Sweater merah, celana pendek dan
sandal jepit dirasa cukup untuk menutupi tubuhnya malam itu. Dia masih ingat
beberapa menit yang lalu saat dia memutuskan untuk memakai sweater merah itu –
dia teringat dengan Cindai. Seseorang yang memberinya sweater itu saat di
Singapore dulu. Kini mereka terpisah ribuan mil. Walaupun masih di satu negara
namun jauhnya jarak Sumatera dan Sulawesi nyatanya bisa memisahkan raga mereka.
Bagas masih berjalan menyisir
jembatan ampera. Engga ada yang tau persis apa yang akan dilakukannya tapi yang
jelas dia berjalan pelan dalam kesunyian dengan kenangan-kenangan indah bersama
Cindai merasuki pikirannya.
Lalu dia berhenti di salah satu
sisi jembatan. Pandangannya disisir ke tiap sudut sungai Musi yang terbentang
luas tepat di bawah jembatan itu.
Bagas mengeluarkan ponselnya dari
saku celana lalu tersenyum. Dia selalu tersenyum saat melihat home background
di ponselnya itu. Menurutnya, hanya memasang poto dirinya bersama Cindai lah bisa
mengurangi rasa rindu padanya yang datang tiap saat.
‘ndol kamu lagi apa ya di sana…’
batin Bagas. ‘Bagas gak sabar menunggu sampai lulus sekolah nanti. Bagas gak
sabar bisa kuliah bareng kamu nanti di Jakarta. Bagas akan selalu tunggu sampai
waktu itu tiba. Waktu dimana kita akan dipertemukan kembali. Bagas selalu
mempatri janji yang kita buat satu bulan lalu di Singapore’ tambahnya lalu
tersenyum.
Sekitar satu tahunan yang lalu,
Bagas Cindai dipertemukan di River Valley High School, Singapore. Dimana saat
mereka sama-sama sedang mengikuti student-exchange yang didanai oleh pemerintah
Indonesia dan Singapore. Bagas Cindai terpilih sebagai siswa berprestasi di
bidangnya masing-masing yang berhak belajar selama dua semester di salah satu
sekolah prestisius di Singapore itu.
---
Juli 2014,
“Ooops sorry…” ujar Bagas gugup
setelah menabrak seseorang.
“It’s okay”
Bagas membantu membereskan
buku-buku yang berserakan di lantai. “Oh are you Indonesian?” tanyanya kaget
ketika melihat seseorang yang ditabraknya berperawakan seperti orang Indonesia.
“Yes! And you are?”
Bagas tersenyum lega lalu
mengangguk. “Yaaa yaaa yaaa I’m Indonesian too” jawab Bagas sumringah.
“Aaah I see… I thought you are
Chinese or something because I recognize you have small eyes, white skin
hahahaha”
Bagas pun tertawa lepas mendengar
seseorang yang berasumsi seperti itu. “I’ve received lots of that such an
assumptive statement toward my appearance in my entire life” “Anyway I’m Bagas, from Palembang”
“I’m Cindai from Manado”
Dan mereka berjabat tangan dengan
wajah yang saling berseri-seri. “By the way, kamu student exchange juga di
sini?” tanya Bagas memulai percakapan sembari berjalan di koridor.
Cindai mengangguk.
“Wah sama dong”
“Oya kamu di bidang apa?” tanya
balik Cindai.
“Aku keterima masuk kelas
science”
“Woow that’s good! I heard only
one person accepted yang masuk ke kelas sciene”
Bagas mengangguk bangga. “Yeah it
is me!” jawab Bagas tersenyum lebar. “Kalo kamu?”
“Aku masuk kelas music & art”
jawab Cindai merendah.
“It’s amazing! Kamu bisa menyanyi
kah atau melukis?”
“I’m a singer. Winning a 1st
champion on Singing Competition in Sulawesi which held by education government
there and yeah it was an opportunity for me which brought me to be here”
Bagas menghentikan langkahnya sejenak
lalu memandang gadis di sampingnya itu dengan wajah kagum. “Wow that’s cool”
ujarnya.
“Thank you” ujar Cindai dengan
wajah memerah.
---
Bagas tersenyum lebar saat
mengenang pertemuaan nya bersama Cindai. Sejujurnya, Bagas begitu kagum dengan
sosok Cindai pada saat itu bahkan sampai saat ini. Sosok Cindai bukan hanya
sudah mencuri hati nya tapi juga memberinya pelajaran bahwa hidup itu penuh
dengan perjuangan.
Bagas bisa dibilang bergelimang
harta. Dia bisa keluar masuk tempat les ternama sesuka hatinya. Dia bisa
mengikuti beberapa les dalam satu semester tanpa mempertimbangkan biaya.
Semuanya disokong oleh keluarga nya yang terlanjur kaya tapi tidak dengan
Cindai. Dia harus berusaha belajar sendiri untuk bisa mendapatkan beasiswa
tanpa dibantu dengan les ini itu. Semuanya dilakukan demi cita-cita nya dan
keluarganya tapi dia tak pernah menyerah. Itulah yang membuat Bagas kagum pada
sosok Cindai.
Akhirnya Bagas menelpon Cindai
karena rindu nya sudah menderu-deru dari tadi. Suara telpon tersambung… detak
jantung pun ikut mendegub kencang. Bagas tertawa menggeleng sambil memegang
dadanya. ‘masih aja deg-deg’an’
“Hallo?” sapa seseorang di sana
dengan lembut.
Bagas belum mau membalas. Ia
masih mengatur napas nya agar tak terdengar gugup tapi wajahnya tatap
sumringah.
“Bagaaaas???” sapa lagi Cindai
dengan lembut.
“Cindai…” Bagas memulai.
“Kamu lagi ngapain sih?”
“Lagi di Ampera”
“Heh stupid! I was asking, what
you’re doing NOT where you’re”
Bagas tertawa lepas. “Iya deh iya
deh… I’m thinking of you. Puas?”
Cindai pun tertawa tak kalah
lepasnya. “Reaallllyyyy???” tanya Cindai tak percaya.
“Iya lah! Ngapain aku boong”
Cindai hanya tersenyum di ujung
sana sembari memandangi poto dirinya bersama Bagas yang daritadi dilihatnya
itu.
“Ndai…”
“Yes?”
“Bagas kangen banget sama kamu”
Lagi-lagi Cindai hanya tersenyum
malu.
“Ndai… kok kamu diem aja sih?”
“Yaa abisnya aku harus ngapain?”
“Yaa ngapain kek! Emang kamu gak
kangen sama aku ya? Oh yaya yaya I see… kamu pasti duaikan aku kan? Kemaren aku
liat kamu ngpost di Instagram photo sama cowo. Siapa tuh?!” cerocos Bagas rada
sewot.
“Ih kamu apaan sih… Satu aja
engga akan pernah abis, ngapain harus dua?” ledek Cindai.
“Hmmmm gitu???” Bagas
manggut-manggut.
“Iya laah… dia itu senior aku”
“Yakin senior? Kok photonya berduaan?”
“Ih kayaknya kamu ngantuk deh.
Liat lagi coba photonya, mana ada aku photo berduaan. Itu rame rame kali!”
“Emang ya?”
“Wooo dasar!!! Aku juga kangen
sama kamu”
“Apa?”
“Aku kangen sama kamu Bagas…”
Bagas terseyum lebar, menyipitkan
kedua matanya.
“Kemarin aku mimpiin kamu tau”
“Oya? Coba aku mau denger kamu
mimpiin aku apa?” tanya Bagas penasaran.
Cindai beranjak dari duduknya. Ia
berjalan menuju jendela kamarnya lalu menatap langit pada malam itu yang cerah
sekali, dihiasi ratusan bintang berkelip-kelip seakan mengajaknya untuk menari.
“Aku mimpi kita bertemu di suatu
tempat. Kamu pakai swater merah yang aku kasih. Kamu berjalan mendekati aku
sambil tersenyum. Tapi kamu kurusan di sana, kayaknya kamu kurang gizi deh
haha”
“Siaaaal!!! Kamu mau cerita atau
ngeledek aku sih?” Bagas geram.
Cindai tertawa lepas. “Okay okay
okay… jadi kamu deketin aku terus pegang kedua tangan aku lalu…”
“Laluuu???” tanya Bagas
penasaran.
“Laluuu…”
“Laluu???”
“Laluuu…”
“Lalu apaaa???!!!” tanya Bagas
geram.
“Lalu aku kebangun…” ujar Cindai
polos.
“Hufftttt…”
Cindai hanya bisa tertawa puas.
Rasanya ada rasa kepuasan di sana. Namun Bagas bête setengah mati mendengar
cerita yang nanggung itu.
“Kamu tuh yaa… jauh aja bikin aku
gregetan! Gimana kalo deket! Aku unyel-unyel kamu yaaa”
Cindai masih saja tertawa puas.
“Kamu inget gak waktu kamu tidur
di bahu aku pas di MRT?” tanya Bagas tiba-tiba.
“Iya inget… yang kamu kepegelan
abis itu gara-gara gak bisa gerak”
“Bukannya engga bisa gerak. Aku
engga mau aja bangunin kamu”
“Ooooh co cwiiit…” ledek Cindai.
“Kamu tuh ya! Aku kangen
masa-masa itu”
Cindai terdiam sejenak. Dia
merenungkan apa yang sudah Bagas lakukan terhadapnya. Perhatian Bagas terhadapnya,
perlakuan Bagas terhadapnya. Semuanya itu semakin tak bisa melepaskan dirinya
dari Bagas. Bagas begitu berarti baginya. Bagas adalah orang pertama yang
membuat hidupnya terasa lebih ringan. Bagas juga yang mengajarkan bahwa hidup
itu cuma sekali. So doesn’t matter how serious you run into your goal but you
don’t have to push away the stupidities’ in order to make your life’s
balance.
“Gas…” ujar Cindai.
“Yes?”
“Makasih ya… saat itu kamu udah
rela-rela memberikan bahunya untuk aku tidur. Aku juga bisa ngerasain kamu
genggam erat tangan aku. Sebenernya aku engga literary tidur saat itu tapi aku
cuma ingin merebahkan kepala ku aja di bahu kamu. Karena aku lelah sekali…”
Bagas mengangguk mengerti. “Aku
tau kok. Dan kamu bisa kapanpun bersandar di bahu aku. My shoulder is only for
you to lean on”
“Makasih ya…”
“Makasih mulu daritadi”
Cindai tersenyum. “Aku serius.
Makasih buat semuanya. Kamu udah ngewarnai hidup aku”
“Oooh co cwiiiit… aku kerayon ya”
ujar Bagas sambil tertawa. Dan mereka tertawa bersama.
Kemudian mereka hening sejenak.
Sampai pada akhirnya mereka ngomong “I love you” pada saat yang sama.
“I can’t wait for our college’
life” ujar Bagas.
“Me too! Bagas?”
“Yes?”
“Promise me to always wait me”
“Always!”
“I miss you”
“I’ve always miss you” ujar Bagas
lalu menutup telponya.
Bagas menarik napas panjang.
Perasaan rindunya sedikit terobati. Perasaanya jauh lebih lega. Dan yang
terpenting, dia tau bahwa Cindai pun merasakan hal yang sama seperti dirinya
dan Itu adalah hal yang ierpenting.
‘I never expect meeting you a
year ago but God did. I never expect loving you but God did. So I’ve always
waited you in pleasant until meet again because I know God will do for us’ ujar
Bagas pelan sembari memandang sungai musi yang semakin tenang.
-The end-
Label: Cerpen |
Navigations! Let's Talk! Followers! message?
The Credits! |