Andai Aku Telah Dewasa
5/19/2013 @ 12:22 PM | 0 Comment [s]
Casts: Bagas & CindaiKamu tau gak kenapa ada pelangi setelah hujan? Seperti kata Kartini, habis gelap terbitlah terang. Ketika kita berada dalam posisi atau keadaan yg kita engga tau mesti ngapain, percaya deh nanti akan ada cahaya yg bakal menuntun kita ke jalan yg lebih terang. Sama hal nya seperti pelangi, dia selalu datang setelah mendung, setelah hujan untuk memberitahu kita yg di bumi ini kalo kita engga boleh nyerah dengan keadaan segelap apapun, kita mesti bertahan menanti terang yg akan menerangi kita.
Aku penasaran apa pikiran aku
terhadap pelangi akan berubah ketika dewasa nanti? aku berharap ada seseorang
nanti yg akan selalu mengingatkan tentang persepsi aku terhadap pelangi ketika
dewasa nanti. Aku jadi penasaran seperti apa aku di dewasa nanti.
“Gas, aku pengen deh jadi seorang
penulis”
“Aku tau, kamu sering bilang itu
beratus ratus kali” ujarnya
“Kamu tau kenapa?”
“Tau. Kamu juga sering bilang
menjadi penulis itu mimpi kamu dari dulu, merangkai kata kata menjadi suatu
baris dan berbaris baris yg nantinya bisa dibaca banyak orang”
Aku tersenyum melihat sahabatku
itu begitu memahami ku, hanya dia yg mengerti aku. Aku selalu cerita tentang
cita cita ke dia, mungkin dari ratusan juta manusia di dunia ini cuma Bagas yg
memahami ku. Memahami semua keinginanku, yg kadang orang lain pun engga pernah
terlintas di benaknya
“Engga cuma itu gas” kataku
“Terus?” dia melihatku dengan
serius
“Tulisan tulisan aku juga bisa
menjadi bukti kalau aku pernah merasakan indahnya dunia ini”
“Kamu engga perlu memciptakan
bukti fisik seperti itu karena tanpa tulisan kamu pun, orang orang tau kalau
kamu pernah ada di dunia mereka”
“Iya?”
“Iya lah…” jawabnya senyum sambil
menatap pelangi di atas sana
“Gas, cepetan! Telat nih!” ujar
ku di depan rumahnya
“Iya bentar bentar, bawel!”
“Kamu udah ngerjain tugas belum?”
“Belom! Hehehe”
“Uh kebiasaan!!!”
“Kan aku percaya kata kata kamu”
“Kata kata yg mana?”
“Tentang pelangi, habis gelap
terbitlah terang”
“Terus?”
“Aku tuh gelap banget waktu
ngerjain tugas itu, berharap ada cahaya yg nuntun ku buat ngerjain tugas itu
dan cahaya itu aku liat ada di kamu”
“Hahahaha cahaya itu kan engga
selalu datang dari aku gas”
Dia melihatku seakan bertanya
tanya atas pernyataan ku “Kenapa?”
“Kamu harus survive saat cahaya
itu engga lagi datang dari tempat yg sama dan dari orang yg sama hehehe”
“Hmm udah lah yuk, masih aja
bahas soal pelangi” ujarnya menghentikan kata kata yg mungkin membuatnya
bingung
Di sekolah, seperti biasa dengan
rutinitas seperti biasa. Bagas teman sekelas ku juga teman dekatku, bisa
dibilang sahabat sejati ku. Mereka selalu bilang, ‘Ndai mana Bagas?’ atau ‘Gas
mana Cindai?’ sepertinya konsep mereka tentang kedekatan kita sudah menjadi
rahasia umum. Tanpa dibicarakan pun, semua orang tau; dimana ada aku selalu ada
Bagas, dimana ada Bagas selalu ada aku.
“Hey!” sapanya mengagetkan dari
konsentrasi ku membaca novel
“Ih Bagas ganggu aja ah”
“Udah makan?”
“Belom”
“Makan dulu lah” sarannya sambil
mengambil novel yg ku baca
“Gas balikin gak?”
“Iya tapi makan dulu”
“Iya nanti”
“Ndai tau gak? Membaca itu kan
memerlukan energy”
“Oya? Kata siapa?”
“Kata aku lah. Saat membaca kita
keluar dari realita menuju fantasi yg abstrak dan engga ada batasnya”
“Terus?”
“Kamu butuh energy untuk
mengelilingi fantasi kamu itu”
“Gas kamu tau gak?”
“Apa?”
“Persepsi kamu tentang banyak hal
itu yg membuat aku kagum sama kamu”
“Hahahaha iya lah…”
“Tapi kadang juga buat bête”
“Bete tapi suka kan?”
“Ishh…”
“Udah ah yuk ke kantin, entar
baru aku balikin novel kamu” ucapnya menarik tanganku menuju kantin
Sering sekali omongan Bagas yg
bisa membuat aku engga bisa berbuat apa apa. Sebenernya dia anak yg cerdas,
semua orang tau itu. Aku sih nyebutnya kalau dia itu pintar tapi entah kenapa
dia engga mau disebut pintar atau pandai, dia lebih milih disebut cerdas. Entah
seperti apa lagi konsep pikiran dia tentang bedanya cerdas, pintar dan pandai –
hanya dia yg tau.
Dari sekolah dasar sampai saat
ini di sekolah menengah pertama, kita selalu bersama. Entah kebetulan atau apa,
sejak awal masuk sekolah orang yg pertama ku kenal itu Bagas, teman pertama,
teman sekelas dari kelas 1 sampai kelas 6 dan begitu juga di smp, dari kelas 1
sampai kelas 3 – dia selalu ada bersama ku.
“Mau makan apa?” tanyanya di
kantin
“Kayak biasa aja”
“Oke sip! Tunggu ya”
Engga menunggu lama, makanan yg
biasa ku pesan pun datang. Dibawa oleh Bagas dan hanya dia yg tau apa makanan
yg selalu aku makan
“This is it… mie ayam tanpa daun
bawang dan tanpa sambal”
“Hehehehe merci Bagas”
“Anytime”
Tiba tiba kantin diramaikan
berita yg cukup membuat aku excited, ada seorang yg mengabarkan ke meja kami
tentang lomba menulis yg hadiahnya cukup besar
“Eh ada lomba menulis nih, engga
ikutan ndai?”
“Coba liat?”
“Wah hadiahnya lumayan. 5 jt
untuk pemenang pertama”
“Hmm buat essay?”
“Iya… bisa lah ya”
“Tentang remaja kreatif? Hmmm”
gumamku agak ragu
“Kenapa?” tanya Bagas heran
“Remaja kreatif seperti apa?”
“Gak usah jauh jauh, kamu bisa
jadiin aku contohnya”
“Hahaha kamu? Sebagai remaja
kreatif? Kreatif dalam hal apa?”
“Hmm… apa ya?” jawabnya garuk
garuk kepala
“Ah udah deh yg penting kamu
harus ikut lombal ini. Aku percaya kamu pasti menang!” tambahnya
Semangat Bagas yg begitu percaya
terhadap ku, menjadi motivasi tersendiri buat aku dengan yakin untuk mengikuti
lomba itu. Dengan konsepku tentang seperti apa remaja yg dibilang kreatif itu,
semua pikiran subjektifku aku tuangkan dalam sebuah essay. Deadline yg tinggal
seminggu lagi, rasanya cukup untuk mematangkan tentang persepsi ku itu. Bagas
juga selalu di sana membantu ku, menemani ku menulis, menjadi obat nyamuk saat
aku mulai konsen dengan tulisan ku dan engga mau diganggu, menjadi teman
debatku saat pendapat ku berbanding terbalik dengan pendapatnya. Dia selalu
menjadi seseorang yg bisa diajak segalanya. Entah kenapa aku jadi sering
memikirkannya bahkan tanpa sadar aku menyisipkannya dalam setiap tulisan ku.
Mungkin aku mulai suka? Aku memang suka dia sejak dulu dan sekarang, entah rasa
suka seperti apa yg aku rasain – rasa suka sebagai sahabat atau lebih. Aku
engga terlalu memikirkannya, yg penting saat dia ada di saat ku butuh itu udah
lebih dari cukup ketimbang memperdebatkan rasa suka ku
“Ndai!!!!!!!!!!!!!!!!!!!”
teriaknya dari depan rumah ku
“Ada apa sih gas? Teriak teriak
gitu?”
“Nih liat” dia memberikanku
selembar kertas
“Apa ini?”
“Baca!” perintahnya antusias
“Kamu menang ndai!!!!! Liat, kamu
pemenang petama lomba menulis essay!!!!! Wowww”
“Ah ini bener?”
“Iya lah ngapain aku bohong?!”
“Kamu dapet dari mana?”
“Aku print langsung dari web
penyelenggara”
“Jadi bener aku menang?”
“Iyaaa!!!” katanya menggoyang
goyangkan badanku seolah menyadarkan ku dari ketidak percayaan ini
“Yeaaaaaaayyy!!!!!!!!!” respond
ku memeluk Bagas dengan erat
“Selamat ya ndai!” dia menyambut
pelukanku dengan lebih erat
“Makasih ya gas!”
“Makasih buat apa?” tanyanya
heran agak melonggarkan pelukannya
“Apapun! Apapun yg kamu kasih
buat aku, makasih ya” ucapku masih memeluknya erat dan lebih erat
“Sama sama” kembali menyambut
pelukan ku
Pagi ini rasanya sangat special,
aku ingin pergi bersama Bagas. Sengaja engga masuk sekolah untuk pergi ke suatu
tempat, hanya berdua – berdua saja sama dia
“Ndai yakin hari ini kita engga
sekolah?”
“Iya! Kenapa kamu ragu?”
“Hmmm”
“Yaudah kalo kamu ragu, kamu
sekolah aja sana”
“Ehhhh tunggu tunggu” genggaman
tangannya menghentikan langkahku
“Aku engga mau maksa”
“Iya iya, aku ikut. Kemana pun
kamu pergi”
Senyumku melihatnya juga senyum
terhadapku “Yuk!”
Kami berdua mengikuti seminar
tentang menulis kreatif bersama, acara yg diadakan untuk terbuka itu sebenernya
keinginanku untuk lebih mengenal dalam dunia tulis menulis. Engga ada anak
berseragam putih biru di sana, palingan kalau ada yg berseragam pun itu putih
abu abu – acaranya memang untuk umum tapi kebanyakan dari mereka adalah siswa
SMA dan mahasiswa. Rasanya aku paling muda di sana tapi semangatku untuk
mengikuti seminar itu engga kalah dengan kaka kaka senior ku itu.
Kalau bisa milih Bagas sebenernya
lebih memilih dunia olah raga ketimbang ini tapi mulianya Bagas dia selalu
menemaniku dalam kegiatanku seperti ini. Menemani ku dengan sabar, kadang dia
tertidur dalam seminar ini, aku sadar mungkin dia bosan bertahan di sana tapi
rasanya dia terlalu baik untuk berkata jujur kalau dia bosan
“Gas, ngantuk?”
“Ah engga… hehe” ucapnya
Itu ucapan terakhir yg ku dengar
darinya sebelum aku berbaring di sini, berbaring dari ketidakberdayaanku.
Kecelakaan yg kami alami sesaat setelah mengikuti seminar itu, menghancurkan
segalanya. Mungkin bisa saja menghancurkan cita cita ku. Setelah kejadian itu
aku engga tau bagaimana keadaan Bagas sekarang, dia dimana pun aku engga tau.
Dia seperti menghilang begitu saja dari hidupku. Engga ada lagi yg menemaniku,
mendengarkanku, berdebat dengan ku. Hanya dia orang yg bisa membuat ku yakin
kalau selalu ada cahaya setelah gelap. Namun sekarang rasanya, cahaya itu
memang susah ditemukan. Aku menunggu dalam kegelapan tapi Bagas engga pernah
datang membawa cahaya itu. Dia masih bertahan di sana yg aku pun engga tau.
Ketidakadaan Bagas membuatku hampa, engga ada orang yg membuatku semangat lagi
untuk menggapai cita cita ku yg tinggi itu. Kemampuan badan ini untuk beranjak
dari tempat tidurku pun engga membauat aku semangat untuk bangkit. Sampai
akhirnya…
“Dok tolong diperiksa anak saya”
ujar seorang yg begitu khawatir melihat anak gadisnya berbaring lemas tak
berdaya
“Hmm ada pembuluh darah di
otaknya yg pecah akibat kecelakaan itu yg membuat putri bapak tak sadarkan diri
sampai saat ini”
“Terus gimana dok?”
“Hmm kita berdoa saja” ujar
seorang dokter itu
Isak tangis terdengar di ruangan
itu, seorang ayah yg tak kuasa melihat anaknya yg memiliki sedikit harapan
untuk kembali sadar. Ada seorang ibu pun yg tak sanggup melihat putri nya
berbaring lemah dengan tubuh full dengan alat alat yg membantunya bernafas. Di
ruangan itu menjadi saksi atas ketidakberdayaan sorang gadis yg harus berbesar
hati mengubur semua harapannya. Engga ada lagi omongan penuh semangat, engga
ada lagi omongan penuh cita cita dan harapan. Dia masih tak sadar, sadar untuk
mewujudkan apa yg dia ucapkan sebelumnya.
Bagas baru menjenguk sahabatnya
saat itu, kekecewaan dia teramat dalam karena tak bisa menemani sahabatnya
berjuang untuk sadar. Kecelakaan yg juga menimpanya membuat dia harus dirawat
di rumah sakit di luar kota untuk mendapatkan pengobatan yg lebih baik. Dirawat
di luar kota dan harus meninggalkan sahabatnya itu. Ia pun baru tau belakangan
ini tentang kondisi sahabatnya itu, sebelumnya orang tuanya engga ingin
berbicara apapun – menutupi semuanya untuk kesembuhan Bagas
“Bangun ndai…” ujar Bagas tak
kuasa melihat sahabatnya terbaring koma
“Maafin aku ndai, baru bisa
dateng sekarang”
“Kamu pasti nyariin aku kan?”
“Aku juga nyariin kamu di sana,
entah sadar atau engga – aku selalu memikirkan tentang kita. Masa masa kita
bersama”
“Ndai bangun…” ucapnya lirih
menggenggam jemari sahabatanya itu
Tak ada respon di sana,
sahabatnya masih saja dengan tidurnya yg panjang. Hampir setiap hari Bagas
datang, datang untuk menemaninya. Kini kebiasaan Bagas yg menjadi pendengar
beralih menjadi pencerita. Dia bercerita apapun ke sahabatnya. Seolah memang
sedang cerita dengan seseorang yg bisa diajak cerita, baginya sadar atau engga
sahabatanya masih tetap sama diliatnya – masih tetap menjadi tempat yg enak
untuk diajak cerita. Rutin mengunjunginya, rutin menjenguknya – kadang dia
mengelap sahabatnya itu dengan kain basah – seperti sedang membersihkan
nya.
“Ndai… biasanya kalo aku engga
bersih, kamu yg selalu ngomel ngomel”
“Sekarang giliran aku yg bersihin
kamu”
“Biar kamu seger… aku tau lagi
kamu engga suka kan kalo kotor. Tadi aku baru aja motongin kuku kaki dan tangan
kamu, nih liat rapih kan potongan aku? Hehe”
“Ndai aku masih nyimpen sepatu yg
kamu kasih dari uang hasil lomba essay kamu”
“Udah engga muat sih hehe tapi
aku simpen aja di kamar”
“Liat sepatu itu aku jadi inget
kamu”
“Aku engga nyangka kamu beliin
aku sepatu dari hasil lomba itu”
“Padahal sepatu itu lumayan mahal
loh”
“Makasih ya ndai…”
“Ndai…” ujarnya menggenggam
tangan sahabatnya itu
“Kamu masih inget omongan kita
tentang pelangi?”
“Kamu minta ada seseorang yg
ngingetin itu saat kamu dewasa nanti”
“Aku di sini ndai, selalu
ngingetin itu”
“Kamu selalu antusias saat
ngomongin dewasa nanti. Kamu mau jadi penulis, kamu pengen nulis”
“Bangun ndai…” air matanya pun
menetes
“Kamu engga mau menyambut hari
hari dewasa kamu?”
“Bangun ndai…”
“Hari dewasa kamu udah menanti,
menanti kamu di sana untuk mewujudkan mimpi mimpi kamu itu”
“Oh mungkin kamu lupa, aku
ingetin ya… saat dewasa nanti kamu ingin jadi penulis, penulis yg hebat karena
kamu suka nulis. Kamu juga mau buat buku kan? Inget gak waktu di sekolah kamu
cerita kamu mau buat buku, terus aku bilang ‘buku tentang aku aja’ eh kamu
cemberut – kamu mau buat buku yg bisa dibaca banyak orang”
“Kamu mau nulis untuk bisa dibaca
banyak orang kan?”
“Apa kamu mau nulis cuma sebagai
bukti kalau kamu pernah ada?”
“Bangun ndai… aku udah siap di
sini menjadi penerang kamu, udah siap ngingetin kamu tentang konsep pelangi,
aku juga udah siap menemani hari dewasa kamu yg kamu tunggu tunggu itu”
“Bangun ndai…” air matanya pun
tumbah membasahi pipinya dan tangan sahabatnya yg dari tadi ia genggam erat
Sebanyak apapun ucapan Bagas, tak
membuat sahabat itu bergerak. Masih terjaga dari tidurnya, hanya merespon
dengan air matanya yg menetes dari ujung matanya – seperti merasakan apa yg
Bagas rasakan – seperti merespon apa yg Bagas omongin - seperti
mengucapkan salam perpisahan untuk seorang sahabatnya itu yg siap menatap hari
dewasanya sendiri.
***
“Kalau kamu engga bisa menatap
dewasamu, biar aku yg menjadi dewasamu ndai…”
“Kalau kamu engga bisa menyapa
dewasamu, biar aku yg menyapanya ndai…”
“Kalau kamu lupa apa keinganmu
saat dewasa, aku yg jadi keinginan itu biar kamu selalu ingat”
“Kalau kamu engga bisa nulis
buku, biar aku yg buatin itu untuk kamu”
“Karena aku adalah dewasamu”
Kini Bagas telah menjadi seorang
penulis yg terkenal, sangat dikenal oleh banyak orang. Dikenal akan kerya
karya. Karya karya yg selalu mengispirasi bagi orang yg membacanya. Memenuhi
semua keinginan seseorang yg disayanginya itu saat dia tidak pernah menatap
dewasa. Baginya, sama saja, dewasa dia adalah dewasa sahabatnya juga.
Bagas menatap langit, ada pelangi
di sana. Menatapnya sambil mengenang saat ia masih bersama sahabatnya.
“Aku engga pernah menjadi dewasa
sendiri ndai, kamu selalu ada di setiap habis hujan”
“Kalau aku pernah bilang kamu
penerang dalam kegelapannku, sampai saat ini dan seterusnya kamu masih menjadi
penerang buat aku. Masih menjadi pelangi ku setelah hujan karena mau kamu di
sini ataupun di atas sana, kamu tetap menjadi pelangiku yg bisa mewarnai langit
setelah diselimuti mendung”
Label: Cerpen |
Navigations! Let's Talk! Followers! message?
The Credits! |